TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK'
SURAH BAQARAH 214-220''
BIS-MIL-LAHI-RAHMANI-RAHIM'
214.‘Am hasibtum ‘an – tad – khulul – Jan- nata walammaa ya' – tikum – masa – lullaziina khalaw min – qablikum? Massa – hu – mul ba' – saaa – ‘waddar raa – ‘u wa zul ziluu hattaa yaquular – Rasuulu wallazi – ina ‘aamanuu ma ‘ahuu mataa nasrullah? ‘Alaaa ‘inna nasrallaahi qariib! 215.Yas – ‘aluunaka maa zaa yunfiquun. Qul maaa ‘anfaq – tum – min khayrin – falil – walil – dayni wal – ‘aqrabiins wal – yataa – maa wal masaakiini wab – nis – sabiil. Wa maa taf –‘aluu min khayrin fa – ‘inallaaha bihii ‘Aliim. 216.Kutiba ‘alaykumul – qitaalu wa huwa kurhul – lakum. Wa ‘asaaa ‘an takhrahuu shay – ‘anw wa huwa khayrul – lakum. Wa ‘asaaa ‘an – tuhibbuu shay – ‘anw wa huwa sharrul – lakum. Wal – laahu ya' –lamu wa ‘an – tum laa talamuun. 217.Yas – ‘aluunaka ‘anish – Shahril Haraami qitaalin fiih. Qul qitaalun fiihi kabiir. Wa saadun ‘am – sabiilillaahi wa kufrum – bihii wal – Masjidil –Haraami wa ‘ikh – raaju ‘ahlihii minhu ‘akbaru ‘indal – laah. Wal – fitnatu ‘akbaru minal – qatl. Wa laa yazaaluuna yaqaatiluuna – kum hattaa yarud – duu – kum ‘an – Diinikum ‘inis – ta – taa – ‘uu. Wa many yartadid minkum ‘an – Diinihii fayamut wa huwa kaa – firun fa ‘ulaaa – ‘ika habitat ‘a' – maaluhum fid – dunyaa wal – ‘Aakhirah. Wa ‘ulaaa – ‘ika ‘As – haabun – Naari hum fiiha khaaliduun. 218.‘Inallaziina ‘aamanuu wallaziina haajaruu wa jaa – haduu fii Sabiilillaahi ‘ulaa – ‘ika yarjuuna Rahmatal – laah wal – laahu Ghafuurur – Rahim. 219.Yas – ‘aluunaka ‘anil – khamri wal maysir. Qul fiihi– maaa ‘ismun – kabiirunw wa manaafi – ‘u linnaas: wa ‘ismu – humaaa ‘akbaru min – naf – ‘ihimaa. Wa Yas –‘aluunaka maa zaa yunfiquun. Qulil – ‘afw – ‘kazaalika yubayyi nul – laahu lakumul –‘aayaati la – ‘al – lakum tata fakkaruun. 220. Fiddunyaa wal –‘Aakhirah. Wa yas – ‘aluunaka ‘anil yataamaa. Qul ‘islaahul lahum khayr. Wa ‘In – tukhaalituu hum ‘ikhwaanukum. Wal – laahu ya' – lamul muf – sida minal – muslih. Wa law shaaa ‘allaahu la – ‘a' –natakum: ‘innal: ‘innal laaha ‘Aziizun Hakiim.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah.’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Mahamengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 215)“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalab sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetabui.” (QS. Al-Baqarah: 216)“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil-haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan Judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebib besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219) tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, ktakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu, dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 220)
Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Mujahid, Sa’id bin Jabir, Murrah al-Hamdani, Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, dan Mugatil bin Hayyan mengatakan, al-ba’saa berarti kefakiran, adh-dharra’ berarti penyakit, wa zulzilu berarti dibuat terguncang jiwa mereka dengan goncangan yang keras dari musuh, dan mereka diuji dengan berbagai cobaan yang sangat berat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih, dari Khabab bin al-Arat, ia menceritakan, kami tanyakan: “‘Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memohon pertolongan untuk kami, dan mengapa engkau tidak mendo’akan kami?” Maka beliau pun bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, ada di antara mereka yang digergaji pada tengah-tengah kepalanya hingga terbelah sampai kedua kakinya, namun hal itu tidak memalingkan dirinya dari agama yang dipeluknya. Ada juga yang tubuhnya disisir dengan sisir besi sampai terpisah antara daging dan tulangnya, namun hal itu tidak menjadikannya berpaling dari agamanya.” Selanjutnya beliau bersabda, “Demi Allah, Allah benar-benar akan menyempurnakan perkara (agama) ini sehingga seorang yang berkendaraan dari Shana menuju ke Hadhramaut tidak merasa takut kecuali kepada Allah, dan hanya mengkhawatirkan serigala atas kambingnya. Tetapi kalian adalah kaum yang tergesa-gesa.”Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Murrah Al-Hamdani, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi', As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa al-ba-sa-u artinya kemiskinan, sedangkan ad-darra-u artinya penyakit. Wa-zul zilu artinya takut oleh musuh dengan takut yang sangat. Mereka mendapat cobaan yang sangat besar, seperti yang disebutkan di dalam
Hadis sahih dari Khabbab ibnul Art yang telah menceritakan hadis berikut: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا؟ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا؟ فَقَالَ: "إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ أَحَدُهُمْ يُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مفْرَق رَأْسِهِ فَيَخْلُصُ إِلَى قَدَمَيْهِ، لَا يَصْرفه ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، ويُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا بَيْنَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، لَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ". ثُمَّ قَالَ: "وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ قَوْمٌ تَسْتَعْجِلُونَ". Kami berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak meminta pertolongan buat kami, mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kami?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian ada seseorang dari mereka yang diletakkan pada ubun-ubunnya sebuah gergaji, lalu ia, dibelah dengan gergaji itu sampai kepada kedua telapak kakinya, tetapi hal itu tidak: memalingkannya dari agamanya. Ada pula yang antara daging dan tulangnya disisir dengan sisir besi, tetapi hal tersebut tidak menggoyahkan imannya dari agamanya." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Demi Allah, sesungguhnya Allah pasti akan menyempurnakan agama ini hingga seorang pengendara berjalan dari San'a ke Hadramaut tanpa merasa takut kecuali kepada Allah dan serigala yang mengancam ternak kambingnya, tetapi kalian ini adalah kaum yang tergesa-gesa.
Allah Swt. telah berfirman: {الم* أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ} Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 1-3) Sesungguhnya hal seperti itu pernah dialami oleh para sahabat, yaitu cobaan yang sangat besar pada hari menjelang Perang Ahzab. Muqatil bin Hayyan mengatakan: “
Ayat ini berkenaan dengan nafkah tathawwu’ (sunnah).” As-Suddi mengemukakan: “Nafkah ini telah dinasakh (dihapuskan) dengan zakat.” Namun. hal ini masih perlu ditinjau kembali. Sedangkan makna ayat itu adalah, mereka bertanya kepadamu (Muhammad), bagaimana mereka harus berinfak? Demikian menurut pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid.Sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, dan setelah itu orang-orang yang lebih dekat (dalam hubungan kekerabatan).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Hakim)
Maimun bin Mahran membaca ayat ini kemudian berkata, “Inilah tempat penyaluran infak. Tidak disebutkan di dalam ayat itu, rebana, seruling, patung kayu, dan tirai-dinding (barang yang haram dan sia-sia.-pent.)Ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah swt, bagi kaum muslimin. Supaya mereka menghentikan kejahatan musuh di wilayah Islam. Az-Zuhri mengatakan: “Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang berada dalam peperangan maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk berperang, maka ia harus maju berperang, dan jika tidak dibutuhkan, maka hendaklah ia tetap di tempat (tidak ikut).” Berkenaan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan, oleh karena itu, dalam hadits shahih disebutkan: “Barangsiapa meninggal dunia sedang ia tidak pemah ikut berperang dan ia juga tidak pemah bemiat untuk berperang, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda pada waktu Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah): “Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah [pembukaan kota Makkah] akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Bila kalian diminta untuk maju perang maka majulah.” (Muttafaq ‘alaiHi) Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Jundub bin Abdullah bahwasanya Rasulullah pernah mengutus sebuah delegasi, dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pemimpin. Ketika Abu Ubaidah berangkat, ia pun menangis, karena berat meninggalkan Rasulullah, maka beliau pun menahan kepergian Abu Ubaidah. Selanjutnya beliau mengutus Abdullah bin Jahsy untuk menggantikan posisi Abu Ubaidah, Rasulullah menitipkan sepucuk surat kepadanya dan memerintahkan agar ia tidak membacanya hingga ia sampai di suatu tempat ini dan itu, seraya berpesan, “Janganlah engkau memaksa seseorang dari para sahabatmu untuk pergi bersamamu.” Setelah membaca isi surat itu, ia pun berucap: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun” dan berkata, “Aku patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Selanjutnya ia menyampaikan berita itu dan membacakan surat itu kepada mereka. lalu ada dua orang yang pulang kembali.
(Dalam sirah diceritakan, tidak ada seorang pun dari mereka yang kembali pulang. Tetapi Sa’ad bin Abi Waqqash dan Atabah bin Ghazwan tertinggal di belakang, karena kehilangan unta. Mereka berdua terlambat karena mencari unta tersebut dan kembali pulang ke Madinah setelah delegasi itu berangkat.) Dan mereka yang tersisa terus berjalan hingga bertemu dengan Ibnu al-Hadhrami, maka mereka membunuhnya, sedang mereka tidak mengetahui bahwa hari itu termasuk bulan Rajab atau Jumadil Tsaniyah. Lalu orang-orang musyrik mengatakan kepada kaum muslimin: “Kalian telah berperang pada bulan Haram.Ibnu Ishaq mengatakan: Setelah tampak jelas persoalannya bagi Abdullah bin Jahsy dan para sahabatnya dengan turunnya ayat ini, maka mereka sangat mengharapkan pahala seraya berkata: “Ya Rasulullah, bolehkan kami mengharap adanya peperangan? Hingga kami memperoleh pahala mujahidin dalam perang itu?” Maka Allah swt. pun menurunkan firman-Nya: innal ladziina aamanuu wal ladziina Haajaruu wa jaaHaduu fii sabiilillaaHi ulaa-ika yarjuuna rahmatallaaHi wallaaHu ghafuurur rahiim (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ziyad, dari Ibnu Ishak, telah disebutkan pula dari sebagian keluarga Abdullah, bahwa Abdullah telah membagi fa’i (harta rampasan perang) ketika Allah Ta’ala telah menghalalkannya, menjadi 4/5 (empat perlima) bagian untuk orang-orang yang diberi harta rampasan (yang ikut berperang), dan 1/5 (seperlima) diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan Allah yang berlaku dalam hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Jahsy pada kafilah (yang membawa harta) orang Quraisy itu. Lebih lanjut Ibnu Hisyam mengemukakan: “Itulah harta rampasan perang pertama yang diperoleh kaum muslimin.
Dan Amr bin al-Hadhrami adalah orang yang pertama kali dibunuh oleh kaum muslimin, sedangkan Utsman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kisan adalah orang pertama yang ditawan oleh kaum muslimin.” Ibnu Ishaq mengatakan: “Maka Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dalam perang (yang dipimpin oleh) Abdullah bin Jahsyi, mengucapkan syair di bawah ini, dan ada yang berpendapat syair itu diucapkan oleh Abdullah bin Jahsyi itu sendiri. Syair itu ia ucapkan ketika orang-orang Quraisy mengatakan, “Muhammad dan para sahabatnya telah menghalalkan perang pada bulan Haram dengan menumpahkan darah, mengambil harta benda, dan menawan banyak orang.” Ibnu Hisyam menuturkan, bait-bait berikut ini diucapkan Abdullah bin Jahsyi: Kalian anggap dosa besar berperang pada bulan Haram. Padahal ada yang lebih besar dari itu, jika orang dewasa memperoleh petunjuk. (Yaitu) penolakan kalian terhadap apa yang dikatakan Muhammad. Dan kekufuran kepada Allah, padahal Allah melihat dan menyaksikan. Tindakan kalian mengusir penghuni Masjidilharam. Agar tak terlihat lagi orang yang bersujud kepada Allah di Baitullah. Dan sesungguhnya kami -meskipun kalian telah mencela kami karena membunuhnya (Ibnu) Hadrami)-. Hanyalah menggetarkan orang-orang jahat dan dengki terhadap Islam. Kami telah basahi tombak-tombak kami dengan darah Ibnu Hadrami di Nakhlah. Ketika Waqid menyalakan perang. Dan Utsman ibnu Abdullah menjadi tawanan kami. Dalam keadaan terbelenggu, akan dikembalikan. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Umar bin Khaththab, ia menceritakan bahwa ketika turun ayat pengharaman khamr, ia berdo’a, “Ya Allah terangkanlah kepada kami ihwal khamr sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang ada dalam Surat al-Bagarah ini: yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisiri qul fiiHimaa itsmun kabiirun (“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan Judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa yang besar.”) Kemudian Umar dipanggil dan dibacakan ayat itu kepadanya. Maka ia pun berdo’a lagi: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai masalah khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ [yang artinya]: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk. ” (QS. An-Nisaa’: 43).
Dan seorang muadzin Rasulullah jika mengumandangkan iqamah shalat, ia mengucapkan: “Jangan sekali-kali orang yang dalam keadaan mabuk mendekati shalat.” Kemudian Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut, maka ia pun berdo’a pula: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Maidah [yang artinya]: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). ” (QS. Al-Maidah: 91) Lalu Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut, dan ketika bacaan itu sampai pada kalimat, “FaHal antum muntaHuun (“berhentilah kamu [dari mengerjakan perbuatan itu]”) Umar berkata, “Kami berhenti, kami berhenti.” Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Ali bin al-Madini mengatakan, isnad hadits ini shaleh (bagus), shahih, dan dishahihkan oleh Tirmidzi. Dan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, ia menambahkan setelah kalimat, “Kami berhenti, kami berhenti,” yaitu kalimat, “Karena ia dapat menghilangkan harta benda dan menghilangkan akal fikiran.” Hadits ini juga akan diuraikan lebih lanjut bersamaan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad melalui jalan Abu Hurairah, pada pembahasan surat al-Maidah ayat 90 yang artinya berbunyi: “Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maa-idah: 90)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, (makna ayat itu) yaitu tentang kefanaan dan sirnanya dunia serta datangnya negeri akhirat dan kekekalannya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sha’aq at-Tanimi, ia menuturkan, aku pernah menyaksikan al-Hasan sedang membaca ayat dari Surat al-Baqarah ini: la’allakum tatafakkaruuna fid dun-yaa wal aakhirati; lalu ia berkata: “Demi Allah, barangsiapa memikirkannya, maka ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat yang penuh cobaan dan ujian, serta tidak abadi. Sedangkan akhirat adalah tempat pemberian balasan dan kekal.” Demikian dikemukakan oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan ulama lainnya. Abdur Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Qatadah, “Agar mereka mengetahui kelebihan akhirat atas dunia.” Dan dalam riwayat lain dari Qatadah: “Maka hendaknya kalian lebih mengutamakan akhirat daripada dunia”.
Kisah ini diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Dan begitu juga yang disebutkan oleh banyak ulama berkenaan dengan turunnya ayat ini, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf. Jadi firman-Nya: qul ishlaahul laHum khairun (“Katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik,”) yakni secara terpisah. Wa in tukhaalithuuHum fa ikhwaanukum (“Dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu.”) Artinya, kalian juga boleh menggabungkan makanan dan minuman kalian dengan makanan dan minuman mereka, karena mereka adalah saudara kalian seagama. Oleh karena itu Allah berfirman: wallaaHu ya’lamul mufsida minal mushlih (“Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.”) Artinya, Dia mengetahui orang yang berniat membuat kerusakan dari orang bemiat melakukan perbaikan. Firman Allah: walau syaa-AllaaHu la a’natakum innallaaHa ‘aziizun hakim (“Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Maksudnya, seandainya Allah menghendaki, niscaya dapat mempersulit dan memberatkan kalian, tetapi Dia memberikan keleluasaan dan keringanan kepada kalian, serta membolehkan kalian menggabungkan makanan dan minuman kalian dengan makanan dan minuman mereka, dengan cara yang lebih baik. Allah swt. telah berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik.” (QS. Al-An’am: 152) Bahkan Allah membolehkan makan dari harta anak yatim itu bagi orang yang membutuhkan, dengan cara yang baik, baik dengan syarat harus menggantinya bagi yang mampu atau secara cuma-cuma. Sebagaimana hal itu akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan surat an-Nisaa’, insya Allah.
SURAH BAQARAH 214-220''
BIS-MIL-LAHI-RAHMANI-RAHIM'
214.‘Am hasibtum ‘an – tad – khulul – Jan- nata walammaa ya' – tikum – masa – lullaziina khalaw min – qablikum? Massa – hu – mul ba' – saaa – ‘waddar raa – ‘u wa zul ziluu hattaa yaquular – Rasuulu wallazi – ina ‘aamanuu ma ‘ahuu mataa nasrullah? ‘Alaaa ‘inna nasrallaahi qariib! 215.Yas – ‘aluunaka maa zaa yunfiquun. Qul maaa ‘anfaq – tum – min khayrin – falil – walil – dayni wal – ‘aqrabiins wal – yataa – maa wal masaakiini wab – nis – sabiil. Wa maa taf –‘aluu min khayrin fa – ‘inallaaha bihii ‘Aliim. 216.Kutiba ‘alaykumul – qitaalu wa huwa kurhul – lakum. Wa ‘asaaa ‘an takhrahuu shay – ‘anw wa huwa khayrul – lakum. Wa ‘asaaa ‘an – tuhibbuu shay – ‘anw wa huwa sharrul – lakum. Wal – laahu ya' –lamu wa ‘an – tum laa talamuun. 217.Yas – ‘aluunaka ‘anish – Shahril Haraami qitaalin fiih. Qul qitaalun fiihi kabiir. Wa saadun ‘am – sabiilillaahi wa kufrum – bihii wal – Masjidil –Haraami wa ‘ikh – raaju ‘ahlihii minhu ‘akbaru ‘indal – laah. Wal – fitnatu ‘akbaru minal – qatl. Wa laa yazaaluuna yaqaatiluuna – kum hattaa yarud – duu – kum ‘an – Diinikum ‘inis – ta – taa – ‘uu. Wa many yartadid minkum ‘an – Diinihii fayamut wa huwa kaa – firun fa ‘ulaaa – ‘ika habitat ‘a' – maaluhum fid – dunyaa wal – ‘Aakhirah. Wa ‘ulaaa – ‘ika ‘As – haabun – Naari hum fiiha khaaliduun. 218.‘Inallaziina ‘aamanuu wallaziina haajaruu wa jaa – haduu fii Sabiilillaahi ‘ulaa – ‘ika yarjuuna Rahmatal – laah wal – laahu Ghafuurur – Rahim. 219.Yas – ‘aluunaka ‘anil – khamri wal maysir. Qul fiihi– maaa ‘ismun – kabiirunw wa manaafi – ‘u linnaas: wa ‘ismu – humaaa ‘akbaru min – naf – ‘ihimaa. Wa Yas –‘aluunaka maa zaa yunfiquun. Qulil – ‘afw – ‘kazaalika yubayyi nul – laahu lakumul –‘aayaati la – ‘al – lakum tata fakkaruun. 220. Fiddunyaa wal –‘Aakhirah. Wa yas – ‘aluunaka ‘anil yataamaa. Qul ‘islaahul lahum khayr. Wa ‘In – tukhaalituu hum ‘ikhwaanukum. Wal – laahu ya' – lamul muf – sida minal – muslih. Wa law shaaa ‘allaahu la – ‘a' –natakum: ‘innal: ‘innal laaha ‘Aziizun Hakiim.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah.’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Mahamengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 215)“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalab sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetabui.” (QS. Al-Baqarah: 216)“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil-haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan Judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebib besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219) tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, ktakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu, dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 220)
Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Mujahid, Sa’id bin Jabir, Murrah al-Hamdani, Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, dan Mugatil bin Hayyan mengatakan, al-ba’saa berarti kefakiran, adh-dharra’ berarti penyakit, wa zulzilu berarti dibuat terguncang jiwa mereka dengan goncangan yang keras dari musuh, dan mereka diuji dengan berbagai cobaan yang sangat berat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih, dari Khabab bin al-Arat, ia menceritakan, kami tanyakan: “‘Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memohon pertolongan untuk kami, dan mengapa engkau tidak mendo’akan kami?” Maka beliau pun bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, ada di antara mereka yang digergaji pada tengah-tengah kepalanya hingga terbelah sampai kedua kakinya, namun hal itu tidak memalingkan dirinya dari agama yang dipeluknya. Ada juga yang tubuhnya disisir dengan sisir besi sampai terpisah antara daging dan tulangnya, namun hal itu tidak menjadikannya berpaling dari agamanya.” Selanjutnya beliau bersabda, “Demi Allah, Allah benar-benar akan menyempurnakan perkara (agama) ini sehingga seorang yang berkendaraan dari Shana menuju ke Hadhramaut tidak merasa takut kecuali kepada Allah, dan hanya mengkhawatirkan serigala atas kambingnya. Tetapi kalian adalah kaum yang tergesa-gesa.”Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Murrah Al-Hamdani, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi', As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa al-ba-sa-u artinya kemiskinan, sedangkan ad-darra-u artinya penyakit. Wa-zul zilu artinya takut oleh musuh dengan takut yang sangat. Mereka mendapat cobaan yang sangat besar, seperti yang disebutkan di dalam
Hadis sahih dari Khabbab ibnul Art yang telah menceritakan hadis berikut: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا؟ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا؟ فَقَالَ: "إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانَ أَحَدُهُمْ يُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مفْرَق رَأْسِهِ فَيَخْلُصُ إِلَى قَدَمَيْهِ، لَا يَصْرفه ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، ويُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا بَيْنَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، لَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ". ثُمَّ قَالَ: "وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ قَوْمٌ تَسْتَعْجِلُونَ". Kami berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak meminta pertolongan buat kami, mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kami?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian ada seseorang dari mereka yang diletakkan pada ubun-ubunnya sebuah gergaji, lalu ia, dibelah dengan gergaji itu sampai kepada kedua telapak kakinya, tetapi hal itu tidak: memalingkannya dari agamanya. Ada pula yang antara daging dan tulangnya disisir dengan sisir besi, tetapi hal tersebut tidak menggoyahkan imannya dari agamanya." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Demi Allah, sesungguhnya Allah pasti akan menyempurnakan agama ini hingga seorang pengendara berjalan dari San'a ke Hadramaut tanpa merasa takut kecuali kepada Allah dan serigala yang mengancam ternak kambingnya, tetapi kalian ini adalah kaum yang tergesa-gesa.
Allah Swt. telah berfirman: {الم* أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ} Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-'Ankabut: 1-3) Sesungguhnya hal seperti itu pernah dialami oleh para sahabat, yaitu cobaan yang sangat besar pada hari menjelang Perang Ahzab. Muqatil bin Hayyan mengatakan: “
Ayat ini berkenaan dengan nafkah tathawwu’ (sunnah).” As-Suddi mengemukakan: “Nafkah ini telah dinasakh (dihapuskan) dengan zakat.” Namun. hal ini masih perlu ditinjau kembali. Sedangkan makna ayat itu adalah, mereka bertanya kepadamu (Muhammad), bagaimana mereka harus berinfak? Demikian menurut pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid.Sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, dan setelah itu orang-orang yang lebih dekat (dalam hubungan kekerabatan).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan al-Hakim)
Maimun bin Mahran membaca ayat ini kemudian berkata, “Inilah tempat penyaluran infak. Tidak disebutkan di dalam ayat itu, rebana, seruling, patung kayu, dan tirai-dinding (barang yang haram dan sia-sia.-pent.)Ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah swt, bagi kaum muslimin. Supaya mereka menghentikan kejahatan musuh di wilayah Islam. Az-Zuhri mengatakan: “Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang berada dalam peperangan maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk berperang, maka ia harus maju berperang, dan jika tidak dibutuhkan, maka hendaklah ia tetap di tempat (tidak ikut).” Berkenaan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan, oleh karena itu, dalam hadits shahih disebutkan: “Barangsiapa meninggal dunia sedang ia tidak pemah ikut berperang dan ia juga tidak pemah bemiat untuk berperang, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda pada waktu Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah): “Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah [pembukaan kota Makkah] akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Bila kalian diminta untuk maju perang maka majulah.” (Muttafaq ‘alaiHi) Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Jundub bin Abdullah bahwasanya Rasulullah pernah mengutus sebuah delegasi, dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pemimpin. Ketika Abu Ubaidah berangkat, ia pun menangis, karena berat meninggalkan Rasulullah, maka beliau pun menahan kepergian Abu Ubaidah. Selanjutnya beliau mengutus Abdullah bin Jahsy untuk menggantikan posisi Abu Ubaidah, Rasulullah menitipkan sepucuk surat kepadanya dan memerintahkan agar ia tidak membacanya hingga ia sampai di suatu tempat ini dan itu, seraya berpesan, “Janganlah engkau memaksa seseorang dari para sahabatmu untuk pergi bersamamu.” Setelah membaca isi surat itu, ia pun berucap: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun” dan berkata, “Aku patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Selanjutnya ia menyampaikan berita itu dan membacakan surat itu kepada mereka. lalu ada dua orang yang pulang kembali.
(Dalam sirah diceritakan, tidak ada seorang pun dari mereka yang kembali pulang. Tetapi Sa’ad bin Abi Waqqash dan Atabah bin Ghazwan tertinggal di belakang, karena kehilangan unta. Mereka berdua terlambat karena mencari unta tersebut dan kembali pulang ke Madinah setelah delegasi itu berangkat.) Dan mereka yang tersisa terus berjalan hingga bertemu dengan Ibnu al-Hadhrami, maka mereka membunuhnya, sedang mereka tidak mengetahui bahwa hari itu termasuk bulan Rajab atau Jumadil Tsaniyah. Lalu orang-orang musyrik mengatakan kepada kaum muslimin: “Kalian telah berperang pada bulan Haram.Ibnu Ishaq mengatakan: Setelah tampak jelas persoalannya bagi Abdullah bin Jahsy dan para sahabatnya dengan turunnya ayat ini, maka mereka sangat mengharapkan pahala seraya berkata: “Ya Rasulullah, bolehkan kami mengharap adanya peperangan? Hingga kami memperoleh pahala mujahidin dalam perang itu?” Maka Allah swt. pun menurunkan firman-Nya: innal ladziina aamanuu wal ladziina Haajaruu wa jaaHaduu fii sabiilillaaHi ulaa-ika yarjuuna rahmatallaaHi wallaaHu ghafuurur rahiim (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ziyad, dari Ibnu Ishak, telah disebutkan pula dari sebagian keluarga Abdullah, bahwa Abdullah telah membagi fa’i (harta rampasan perang) ketika Allah Ta’ala telah menghalalkannya, menjadi 4/5 (empat perlima) bagian untuk orang-orang yang diberi harta rampasan (yang ikut berperang), dan 1/5 (seperlima) diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan Allah yang berlaku dalam hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Jahsy pada kafilah (yang membawa harta) orang Quraisy itu. Lebih lanjut Ibnu Hisyam mengemukakan: “Itulah harta rampasan perang pertama yang diperoleh kaum muslimin.
Dan Amr bin al-Hadhrami adalah orang yang pertama kali dibunuh oleh kaum muslimin, sedangkan Utsman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kisan adalah orang pertama yang ditawan oleh kaum muslimin.” Ibnu Ishaq mengatakan: “Maka Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dalam perang (yang dipimpin oleh) Abdullah bin Jahsyi, mengucapkan syair di bawah ini, dan ada yang berpendapat syair itu diucapkan oleh Abdullah bin Jahsyi itu sendiri. Syair itu ia ucapkan ketika orang-orang Quraisy mengatakan, “Muhammad dan para sahabatnya telah menghalalkan perang pada bulan Haram dengan menumpahkan darah, mengambil harta benda, dan menawan banyak orang.” Ibnu Hisyam menuturkan, bait-bait berikut ini diucapkan Abdullah bin Jahsyi: Kalian anggap dosa besar berperang pada bulan Haram. Padahal ada yang lebih besar dari itu, jika orang dewasa memperoleh petunjuk. (Yaitu) penolakan kalian terhadap apa yang dikatakan Muhammad. Dan kekufuran kepada Allah, padahal Allah melihat dan menyaksikan. Tindakan kalian mengusir penghuni Masjidilharam. Agar tak terlihat lagi orang yang bersujud kepada Allah di Baitullah. Dan sesungguhnya kami -meskipun kalian telah mencela kami karena membunuhnya (Ibnu) Hadrami)-. Hanyalah menggetarkan orang-orang jahat dan dengki terhadap Islam. Kami telah basahi tombak-tombak kami dengan darah Ibnu Hadrami di Nakhlah. Ketika Waqid menyalakan perang. Dan Utsman ibnu Abdullah menjadi tawanan kami. Dalam keadaan terbelenggu, akan dikembalikan. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Umar bin Khaththab, ia menceritakan bahwa ketika turun ayat pengharaman khamr, ia berdo’a, “Ya Allah terangkanlah kepada kami ihwal khamr sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang ada dalam Surat al-Bagarah ini: yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisiri qul fiiHimaa itsmun kabiirun (“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan Judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa yang besar.”) Kemudian Umar dipanggil dan dibacakan ayat itu kepadanya. Maka ia pun berdo’a lagi: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai masalah khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ [yang artinya]: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk. ” (QS. An-Nisaa’: 43).
Dan seorang muadzin Rasulullah jika mengumandangkan iqamah shalat, ia mengucapkan: “Jangan sekali-kali orang yang dalam keadaan mabuk mendekati shalat.” Kemudian Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut, maka ia pun berdo’a pula: “Ya Allah, terangkanlah kepada kami mengenai khamr ini sejelas-jelasnya.” Maka turunlah ayat yang terdapat dalam surat al-Maidah [yang artinya]: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). ” (QS. Al-Maidah: 91) Lalu Umar dipanggil dan dibacakan ayat tersebut, dan ketika bacaan itu sampai pada kalimat, “FaHal antum muntaHuun (“berhentilah kamu [dari mengerjakan perbuatan itu]”) Umar berkata, “Kami berhenti, kami berhenti.” Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Ali bin al-Madini mengatakan, isnad hadits ini shaleh (bagus), shahih, dan dishahihkan oleh Tirmidzi. Dan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, ia menambahkan setelah kalimat, “Kami berhenti, kami berhenti,” yaitu kalimat, “Karena ia dapat menghilangkan harta benda dan menghilangkan akal fikiran.” Hadits ini juga akan diuraikan lebih lanjut bersamaan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad melalui jalan Abu Hurairah, pada pembahasan surat al-Maidah ayat 90 yang artinya berbunyi: “Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maa-idah: 90)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, (makna ayat itu) yaitu tentang kefanaan dan sirnanya dunia serta datangnya negeri akhirat dan kekekalannya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sha’aq at-Tanimi, ia menuturkan, aku pernah menyaksikan al-Hasan sedang membaca ayat dari Surat al-Baqarah ini: la’allakum tatafakkaruuna fid dun-yaa wal aakhirati; lalu ia berkata: “Demi Allah, barangsiapa memikirkannya, maka ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat yang penuh cobaan dan ujian, serta tidak abadi. Sedangkan akhirat adalah tempat pemberian balasan dan kekal.” Demikian dikemukakan oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan ulama lainnya. Abdur Razak meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Qatadah, “Agar mereka mengetahui kelebihan akhirat atas dunia.” Dan dalam riwayat lain dari Qatadah: “Maka hendaknya kalian lebih mengutamakan akhirat daripada dunia”.
Kisah ini diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Dan begitu juga yang disebutkan oleh banyak ulama berkenaan dengan turunnya ayat ini, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf. Jadi firman-Nya: qul ishlaahul laHum khairun (“Katakanlah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik,”) yakni secara terpisah. Wa in tukhaalithuuHum fa ikhwaanukum (“Dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu.”) Artinya, kalian juga boleh menggabungkan makanan dan minuman kalian dengan makanan dan minuman mereka, karena mereka adalah saudara kalian seagama. Oleh karena itu Allah berfirman: wallaaHu ya’lamul mufsida minal mushlih (“Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.”) Artinya, Dia mengetahui orang yang berniat membuat kerusakan dari orang bemiat melakukan perbaikan. Firman Allah: walau syaa-AllaaHu la a’natakum innallaaHa ‘aziizun hakim (“Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Maksudnya, seandainya Allah menghendaki, niscaya dapat mempersulit dan memberatkan kalian, tetapi Dia memberikan keleluasaan dan keringanan kepada kalian, serta membolehkan kalian menggabungkan makanan dan minuman kalian dengan makanan dan minuman mereka, dengan cara yang lebih baik. Allah swt. telah berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik.” (QS. Al-An’am: 152) Bahkan Allah membolehkan makan dari harta anak yatim itu bagi orang yang membutuhkan, dengan cara yang baik, baik dengan syarat harus menggantinya bagi yang mampu atau secara cuma-cuma. Sebagaimana hal itu akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan surat an-Nisaa’, insya Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan