TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK
SURAH BAQARAH AYAT 97-107
BIS-MIL-LAH-HIR-RAHMAN-NIR-RAHIM'' 97.Qulman – kaana ‘ aduwawal – li –Jibrilla fa –‘innahuu nazzala – huu ‘alaa qalbika bi – ‘iznillaahi musaddiqal – limaa bayna ya – dayhi wa hudanw – wa bushraa lil – Mu' – miniin. 98.Man – kaana ‘aduwwal – lil – laahi wa malaaa – ‘ikatihii wa rusulihi wa Jibriila wa Miikaala fa –‘innal – laaha ‘aduwwul lil – kaafiriin. 99.Wa laqad ‘anzalnaaa ‘ilayka ‘Aayaatim – bayyinaat; wa man yakfuru bihaaa ‘illal – faasiquun. 100.'Awa – kullamaa ‘aahaduu ‘ahdan – nabazahuu fariiqum – minhum? – Bal ‘aksaruhum la yu' – minuun. 101.Wa lammaa jaaa – ‘ahum Rasuulum – min ‘indillaahi mu – saddiqul – limaa ma – ‘ahum nabaza fariiqum – minal – laziina ‘uutul – kitaaba kitaaballaahi waaraaa – ‘a zuhuurihim ka – ‘an – nahum laa ya' – la – muun! 102.Wattaba – ‘uu maa tatlush – shayaati – inu ‘alaa mulki Sulaymaan. Wa maa kafara Sulay – maa – nu wa laakin nash – shayaa – tii – na kafaruu yu – ‘allimuunan – naa – sas – sihir, wa maaa ‘unzila ‘alal – ma – lakayni bi, Baabila Haaruuta – wa Maarut. Wamaa yu – ‘alli maani min ‘ahadin hattaa yaquulaaa ‘innamaa nahnu fitnatun falaa takfur. Fayata – ‘allamuuna minhu – maa maa yufarriquuna bihii baynal – mar – ‘i wa zawjih. Wa maa hum bi – daaar- riina bihii min ‘ahadin ‘illaa bi – ‘iznil – laah. Wa yata –‘alla muuna maa yadurruhum wa laayanfa – ‘uhum. Wa laqad ‘alimuu – lama nishtaraahu maa lahuu fil – ‘Aakhirati min khalaaq. Wa labisa maa sharaw bihiii ‘anfusahum, law kanuu ya' – lamuun. 103.Wa law ‘annahum ‘aamanuu wat – taqaw lamasuubatum – min ‘indillaahi khayr: law kaanuu ya' – lamuun. 104.Yaaa – ‘ayyu – hallaziina ‘aa – manuu laa taquuluu raa – ‘inaa wa quulunzurnaa was – ma – ‘uu. Wa lil – kaafiriiina Aazaabun ‘aliim. 105.Maa Yawaddullaziina kafaruu min ‘Ahlil – Kitaabi walal – Mushrikiina ‘any – yunazzala ‘alaykum – min khayrim mir'Rabbikum. Wallaahu yakhtassu bi – rahmatihii many – yashaaa': wallaahu Zul Fadlil – ‘aziim. 106.Maa nansakh min ‘aa yatin ‘aw nunsihaa na' – ti bi – khayrim minhaaa ‘aw mislihaa: ‘alam ta' – lam ‘anallaaha ‘alaa kulli shay ‘in – Qadiir? 107.‘Alam ta' – lam ‘annallaaha lahuu mulkus – samaawaati wal'ard? Wa maa lakum min duu – nillaahi minw – waliyyinw – walaa nasiir.
Katakanlah: “Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah me-nurunkan (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.(QS. 2:97) Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka se-sungguhnya Allah adalah musuh orang-orang yang kafir.(QS. 2:98) Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. (QS. 2:99) Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya, bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (QS. 2:100) Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). (QS. 2:101) Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka me-ngatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (me-ngerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu jangan-lah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari se-suatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. 2:102) Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui. (QS. 2:103) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Nabi Muhammad e): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS. 2:104) Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturun-kannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. 2:105)Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:106)Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (QS. 2:107)
Imam Abu Ja’far bin Jarir ath-Thabari rahimahullahu mengatakan, para ulama tafsir telah sepakat bahwa ayat ini turun sebagai jawaban terhadap per-nyataan orang-orang Yahudi dari kalangan Bani Israil, di mana mereka mengaku bahwa Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Mikail sebagai penolong mereka. Sebagian ulama mengemukakan, pengakuan mereka itu berkenaan dengan per-debatan yang terjadi antara mereka dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai masalah kenabian beliau. Abu Kuraib memberitahu kami, dari Yunus bin Bukair, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ada sekelompok orang Yahudi mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “Wahai Abu Qasim, beritahukanlah kepada kami perkara yang kami tanyakan kepadamu, yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berujar, “Tanyakanlah segala hal yang kalian ke-hendaki, tetapi berjanjilah kepadaku sebagaimana Ya’qub telah mengambil janji dari anak-anaknya. Jika aku memberitahukan kepada kalian dan kalian mengetahui bahwa itu benar, maka kalian harus mengikutiku memeluk Islam.” Mengenai firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, Î وَلَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكَ ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ Ï “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadmu ayat-ayat yang jelas,” Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, artinya Kami (Allah) telah menurunkan ke-padamu, hai Muhammad, beberapa tanda yang sangat jelas yang menunjukkan kenabianmu. Ayat-ayat itu adalah di antara berbagai ilmu orang-orang Yahudi yang tersembunyi bermacam-macam unsur rahasia berita mereka dan berita mengenai para pendahulu mereka dari kalangan Bani Israil, yang semuanya itu terkandung di dalam al-Qur’an. Selain itu, juga berita mengenai hal-hal yang yang dikandung oleh kitab-kitab mereka yang tidak diketahui kecuali oleh para pendeta dan pemuka agama mereka, serta hukum-hukum yang terdapat di dalam kitab Taurat yang diselewengkan dan diubah oleh para pendahulu mereka. Kemudian Allah I memperlihatkan semua itu di dalam kitab (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad e. Dalam hal itu terdapat ayat-ayat yang jelas bagi orang yang adil terhadap diri sendiri dan tidak membiarkannya dibinasakan oleh rasa dengki dan sikap melampaui batas. Orang yang memiliki fitrah yang sehat pasti akan membenar-kan ayat-ayat yang jelas yang dibawa oleh nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang diperoleh-nya tanpa melalui proses belajar atau mengambil kabar dari seseorang. Sebagaimana yang dikatakan adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya, Î وَلَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكَ ءَ ايَاتٍ بَيِّنَاتٍ Ï “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas,” ia mengatakan, “Engkau yang membacakan dan memberi-tahukannya kepada mereka pada pagi dan petang dan di antara keduanya sedang dalam pandangan mereka, engkau adalah orang yang ummi, yang tidak dapat membaca kitab, tetapi engkau dapat memberitahukan apa yang ada pada mereka dengan tepat. Allah Ta’alamengatakan hal itu kepada mereka sebagai ibrah (pelajaran), bayan (penjelasan), dan menjadi hujjah (bukti) yang memberatkan mereka jika mereka mengetahui.”
Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, bahwa Ibnu Shuriya al-Quthwaini pernah berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Hai Muhammad, engkau tidak datang kepada kami membawa sesuatu yang kami mengetahuinya. Dan Allah tidak menurunkan suatu ayat yang jelas kepadamu sehingga kami dapat mengikutimu.”Maka berkenaan dengan hal itu Allah menurunkan ayat: Î وَ لَقَدْ أَنزَلْـنَا إِلَيْكَ ءَ ايَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَ مَا يَكْفُـرُ بِهَا إِلاَّ الْفَاسِـقُونَ Ï “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas, dan tidak mengingkarinya kecuali orang-orang fasik.” Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallamdiutus dan beliau mengingatkan orang yang-orang Yahudi dan janji mereka kepada Allah serta perintah-Nya kepada mereka agar beriman kepada nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Malik bin Shaif berkata, “Demi Allah, Allah tidak memerintah kami untuk beriman kepada Muhammad dan tidak pula (Allah) mengambil janji dari kami (untuk hal itu) “Aku melihat ke alamatnya lalu mencampakkannya, seperti engkau mencampakkan sandalmu yang telah rusak.” Aku (Ibnu Katsir) katakan; Allah Ta’ala mencela kaum Yahudi itu karena mereka telah mencampakkan berbagai perjanjian, yang Dia meminta mereka agar berpegang teguh padanya serta menunaikan hak-hak-Nya. Oleh karena itu pada ayat berikutnya Allah mengungkapkan kedustaan mereka terhadap Rasul yang diutus kepada mereka dan kepada seluruh umat manusia, yang di dalam kitab-kitab mereka sudah tertulis mengenai sifat-sifat dan berita-berita mengenai-nya. Dan melalui kitab-kitab tersebut mereka telah diperintah untuk mengikuti, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana firman-Nya: Î الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ Ï “Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, dan Nabi yang ummi yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.” (QS. Al-A’raf: 157) “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari termpatnya. Mereka berkata: ‘Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.’ Dan (mereka mengatakan pula): ‘Dengarlah,’ padahal sebenarnya kamu tidak mau mendengar apa-apa. Dan mereka mengatakan: ‘Raa’ina,’ dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: ‘Kami mendengar dan patuh. Dengar dan perhatikanlah kami.’ Maka yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Me-reka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.(QS. An-Nisa’: 46) Banyak juga hadits yang menceritakan mengenai diri mereka ini, dikisahkan, jika orang-orang Yahudi itu mengucapkan salam, sebenarnya yang mereka ucapkan adalah: “السَّـامُ عَلَيْكُـمْ” (semoga kematian menimpa kalian). “السَّامُ” berarti kematian. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk membalas salam yang mereka sampaikan dengan mengucapkan: “وَعَلَيْكُمْ” (dan juga atasmu) supaya dengan demikian ucapan kita kepada mereka dikabulkan sedangkan ucapan mereka kepada kita tidak dikabulkan. Maksudnya bahwa Allah Ta’ala melarang orang-orang mukmin menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan maupun perbuatan, di mana Dia berfirman, Î يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَ امَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ Ï “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengatakan: ‘Raa’ina,’ tetapi katakanlah: ‘Unzhurnaa,’ dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Munib, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma, ia menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَجَعَلَ رِزْقِى تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِى، وَجُعِلَتِ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي. وَمَنْ تَشَبَّهُ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. “Aku diutus menjelang kiamat dengan membawa pedang sehingga hanya Allah yang diibadahi yang tiada sekutu bagi-Nya. Rizkiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahi perintahku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”(HR. Ahmad).
Abu Daud juga meriwayatkan dari Utsman bin Abi Syaibah, dari Abu an-Nadhr Hasyim, Ibnu Qasim memberitahu kami, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَمَنْ تَشَبَّهُ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Abu Daud) Hadits tersebut mengandung larangan keras sekaligus ancaman terhadap tindakan menyerupai orang-orang kafir, baik dalam ucapan, perbuatan, pakaian, perayaan hari-hari besar, dan ibadah mereka, maupun hal lainnya yang sama sekali tidak pernah disyari’atkan dan tidak kita akui keberadaannya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan menuturkan, ‘Ajarilah aku.’ Maka Ibnu Mas’ud berujar, ‘Jika engkau mendengar Allah berfirman, Î يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَ امَنُوا Ï ‘Hai orang-orang yang beriman,’maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah suatu kebaikan yang diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya.” Mengenai firman Allah Ta’ala, Î مَانَنسَخْ مِنْ ءَ ايَةٍ Ï “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan,” Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Aartinya, yang Kami (Allah) gantikan.” Masih mengenai ayat yang sama, dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayat-kan, Î مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ Ï “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan,” maksudnya adalah, Ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan.” Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia menuturkan: Î مَانَنسَـخْ مِنْ ءَ ايَةٍ Ï artinya,‘Kami (Allah) biarkan tulisannya, tetapi kami ubah hukumnya.’ Hal itu diriwayatkan dari beberapa sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu. Î مَانَنسَخْ مِنْ ءَ ايَةٍ Ï, as-Suddi mengatakan, “Nasakh berarti menarik (meng-genggamnya).” Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan, Yakni menggenggam dan mengangkatnya, seperti firman-Nya: Î الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَّةَ Ï “Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya.” Demikian juga firman-Nya: Î لَوْ كَانَ لإِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ ذَهَبٍ لاَبْتَغَـى لَهُمَا ثَالِثًا Ï “Seandainya Ibnu Adam mem-punyai dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga.” Masih berhubungan dengan firman-Nya. Î مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ Ï “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan,” Ibnu Jarir mengatakan, Artinya hukum suatu ayat yang Kami (Allah) pindahkan kepada lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, yang boleh menjadi tidak boleh dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam hal perintah, larangan, keharusan, mutlaq, dan ibahah (kebolehan). Sedangkan ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah tidak mengalami nasikh maupun manshukh.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, “Umar bin al-Khaththab t mengatakan, ‘Orang yang terbaik bacaanya di antara kami adalah Ubay dan yang paling ahli hukum adalah Ali, dan kami akan meninggalkan kata-kata Ubay, di mana ia mengatakan, ‘Aku tidak akan me-ninggalkan sesuatu apapun yang aku dengar dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,’ padahal Allah Ta’ala berfirman, Î مَانَنسَخْ مِنْ ءَ ايَةٍ أَوْ نُنسِهَا Ï “Ayat mana saja yang Kaminasakh,” dan firman-Nya, Î نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا Ï “Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya.” Yaitu hal hukum yang berkaitan dengan kepentingan para mukallaf.” Sebagaimana yang dikatakan Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya, Î نَأْتِ بِخَيْـرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَـا Ï “Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya,” ia mengatakan, “Yaitu memberi manfaat yang lebih baik bagi kalian dan lebih ringan.” Imam Abu Ja’far bin Jarir rahimahullahu mengatakan, “Penafsiran ayat tersebut adalah sebagai berikut: ‘Hai Muhammad, tidakkah engkau mengetahui bahwa hanya Aku (Allah) pemilik kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi dan tidak yang lainnya. Di dalamnya Aku putuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Ku, dan di sana Aku mengeluarkan perintah dan larangan, dan (juga) menasakh, mengganti, serta merubah hukum-hukum yang Aku berlakukan di tengah-tengah hamba-Ku sesuai kehendak-Ku, jika Aku menghendaki.”
Lebih lanjut Abu Ja’far mengatakan, ayat itu meski diarahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahu keagungan Allah Ta’ala, namun sekaligus hal itu dimaksudkan untuk mendustakan orang-orang Yahudi yang mengingkari nasakh(penghapusan) hukum-hukum Taurat dan menolak kenabian Isa ‘alaihissalam dan Muhammad karena keduanya datang dengan membawa beberapa perubahan dari sisi AllahTa’ala untuk merubah hukum-hukum Taurat. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi ini hanyalah milik-Nya, semua makhluk ini berada di bawah kekuasaan-Nya. Mereka ini harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya. Dia mempunyai hak memerintah dan melarang mereka, menasakh, menetapkan, dan membuat segala sesuatu menurut ke-hendak-Nya. Berkenaan dengan hal tersebut penulis (Ibnu Katsir) katakan, Yang membawa orang Yahudi membahas masalah nasakh ini adalah semata-mata karena kekufuran dan keingkarannya terhadap adanya nasakh tersebut. Menurut akal sehat, tidak ada suatu hal pun yang melarang adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta’ala, karena Dia dapat memutuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana Dia juga dapat berbuat apa saja yang di kehendaki-Nya. Yang demikian itu juga telah terjadi di dalam kitab-kitab dan syari’at-syari’at-Nya yang terdahulu. Misalnya, dahulu Allah Ta’ala membolehkan Nabi Adam mengawinkan putrinya dengan puteranya sendiri, tetapi setelah itu Dia mengharamkan hal itu. Dia juga membolehkan Nabi Nuh setelah keluar dari kapal itu untuk memakan semua jenis hewan, tetapi setelah itu Dia menghapus penghalalan sebagiannya. Selain itu, dulu menikahi dua saudara puteri itu diperbolehkan bagi Israil (Nabi Ya’qub) dan anak-anak-nya, tetapi hal itu diharamkan di dalam syariat Taurat dan kitab-kitab setelahnya, Dia juga pernah menyuruh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyembelih puteranya, tetapi kemudian Dia menasakhnya sebelum perintah itu dilaksanakan. Allah Ta’ala juga memerintahkan mayoritas Bani Israil untuk membunuh orang-orang di antara mereka yang menyembah anak sapi, lalu Dia menarik kembali perintah pembunuhan tersebut agar tidak memusnahkan mereka. Di samping hal itu, masih banyak lagi hal-hal yang berkenaan dengan masalah itu, orang-orang Yahudi sendiri mengakui dan membenarkannya.
Dan jawaban-jawaban formal yang diberikan berkenaan dengan dalil-dalil ini, tidak dapat memalingkan sasaran maknanya, karena demikian itulah yang dimaksudkan. Dan sebagaimana yang masyhur tertulis di dalam kitab-kitab mereka mengenai kedatangan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan perintah untuk mengikutinya. Hal itu memberikan pengertian yang mengharuskan untuk mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali yang didahulukan berdasar-kan syariatnya, baik dikatakan bahwa syariat terdahulu itu terbatas sampai pe-ngutusan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang demikian itu tidak disebut sebagai nasakh. Hal itu didasarkan pada firman-Nya, Î ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّـيَامَ إِلَـى اللَّيْـلِ Ï “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa syariat itu bersifat mutlak sedangkan syariat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menasakhnya. Bagaimanapun adanya, mengikutinya (Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam) merupakan suatu keharusan, karena beliau datang dengan membawa sebuah kitab yang merupakan kitab terakhir dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala menjelaskan dibolehkannya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi -la’natulah ‘alaihim-, di mana Dia ber-firman, Î أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَـى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيـرٌ أَلَمْ تَعْلَـمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّـمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ Ï “Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidaklah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Sebagaimana Dia mempunyai kekuasaan tanpa ada yang menandingi-nya, demikian pula hanya Dia yang berhak memutuskan hukum menurut ke-hendak-Nya. Î أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ Ï“Ketahuilah, menciptakan dan memerintah hanya-lah hak Allah.” (QS. Al-A’raaf: 54)
Dan di dalam surat Ali Imran yang mana konteks pembicaraan pada bab awal surat tersebut ditujukan kepada Ahlul Kitab juga terdapat nasakh, yaitu pada firman-Nya: Î كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ Ï “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’qub) untuk dirinya sendiri.”Sebagaimana penafsiran ayat ini akan kami sampaikan pada pembahasan berikutnya. Kaum muslimin secara keseluruhan sepakat membolehkan adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta’ala, karena di dalamnya terdapat hikmah yang sangat besar. Dan mereka semua mengakui terjadinya nasakh tersebut. Seorang mufasir, Abu Muslim ash-Ashabahani mengatakan: “Tidak ada nasakh di dalam al-Qur’an.” Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut ditolak. Dan sangat mengada-ada dalam memberikan jawaban berkenaan dengan terjadinya nasakh. Misalnya (pendapat) mengenai masalah iddah seorang wanita yang berjumlah empat bulan sepuluh hari setelah satu tahun. Dia tidak dapat memberikan jawaban yang dapat diterima. Demikian halnya masalah pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, juga tidak diberikan jawaban sama sekali. Juga penghapusan kewajiban bersabar manghadapi kaum kafir satu lawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan juga penghapusan (nasakh) kewajiban membayar sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lainnya.Wallahu a’lam.