Khamis, 19 Julai 2018

AYAT 245-247

TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK''
SURAH BAQARAH 245-247''
BIS'MIL'LAHI'RAHMAN'NIR'RAHIM''
245.Man – zallazii yuqridullaaha Qardan Hasanan fa – yudaa – ‘ifahuu lahuu ‘ad ‘aafan – kasiirah? Wal – laahu yaqbidu wa yab – sutu. Wa ‘ilayhi turja – ‘uun. 246.‘Alam tara ‘ilal – mala ‘imim – Baniii – ‘Israaa – ‘iila mim – ba' – di Muusaa? ‘Iz qaalu li – nabiyyil – lahumud ‘as lanaa Malikan – nuqaatil fii Sabiilil – laah. Qaala hal ‘asaytum ‘in – kutiba ‘alaykumul – qitaalu ‘allaa tuqaatiluu? Qaaluu wa maa lanaaa ‘allaa tuqaatiluu? Qaaluu wa maa lanaaa ‘allaa nuqaatila fii Sabii – lillaahi wa qad ‘ukhrijnaa min diyaarina wa ‘abnaa ‘inaaa? Falammaa kutiba ‘alay himul – qitaalu tawallaw ‘ilaa qaliilam – minhum. Wallaahu ‘Aliimum – biz zaal – imiin. 247.Wa qaala lahum Nabiy – yuhum ‘innallaaha qad ba ‘asa lakum Taaluuta Malikaa Qaaluuu ‘annaa yakuunu lahul – mulku ‘alaynaa wa nahnu ‘a – nahnu ‘a – haqqu bil mulki minhu wa lam yu' ta sa ‘atam minal maal? Qaala ‘innallaa – hasafaahu ‘alaykum wa zaadahuu basta – tan fil – ilmi wal – jism. Wallaahu yu' tii mulkahuu many – yashaaa'. Wallaahu Waasi – ‘un ‘Aliim.

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(QS. 2:245) “Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang [di bawah pimpinannya] di jalan Allah.’ Nabi mereka menjawab: ‘Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.’ Mereka menjawab: ‘Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami.’ Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Mahamengetahui orang-orang yang dhalim. (QS. Al-Baqarah: 246) Nabi mereka mengatakan kepada me-reka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripada-nya sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak.’ Nabi (mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247)

 Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dari Ibnu Umar ketika turunnya ayat 261 surah Al-Baqarah yang menerangkan bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah nafkahnya itu adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan 7 tangkai; pada tiap-tiap tangkai seratus biji, maka Rasulullah saw. memohon,"Ya Tuhanku, tambahlah balasan itu bagi umatku (lebih dari 700 kali)." Setelah Allah swt. mengisahkan tentang umat yang binasa disebabkan karena ketakutan dan kelemahan keyakinan, maka dalam ayat ini Allah menganjurkan supaya umat rela berkorban menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan pinjaman kepada-Nya.
Sebabnya Allah swt. menamakannya pinjaman padahal Allah swt. sendiri Maha Kaya ialah karena Allah swt. mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dirasakan bahwa seorang hartawan kadang-kadang mudah saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jika yang ditolong itu kerabatnya sendiri. Akan tetapi jika pengeluaran harta itu untuk mempertahankan agama dan memelihara keluhurannya, dan meninggikan kalimat Allah yang di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, maka tidak mudah baginya untuk melepaskan harta yang dicintainya itu, kecuali jika secara terang-terangan atau melalui saluran resmi.
Oleh karena itu ungkapan yang dipergunakan untuk menafkahkan harta benda di jalan Allah itu sangat menarik, yaitu "siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah suatu pinjaman yang baik". Pinjaman yang baik itu yang sesuai dengan bidang dan kemanfaatannya dan dikeluarkan dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk mencapai keridaan Allah swt. Dan Allah menjanjikan akan memberi balasan yang berlipat ganda. Allah memberikan perumpamaan tentang balasan Allah yang berlipat ganda itu, seperti sebutir benih padi yang ditanam dapat menghasilkan tujuh tangkai padi.
Setiap tangkai berisi 100 butir sehingga menghasilkan 700 butir bahkan Allah membalasi itu tanpa batas sesuai dengan yang dimohonkan Rasulullah bagi umatnya dan sesuai dengan keikhlasan orang yang memberikan nafkah. Allah swt. menyempitkan rezeki kepada orang yang tidak mengetahui sunnatullah dalam soal-soal pencarian harta benda dan karena mereka tidak giat membangun di pelbagai bidang yang telah ditunjukkan Allah. Dan Allah melapangkan rezeki kepada manusia yang lain yang pandai menyesuaikan diri dengan sunnatullah dan menggarap berbagai bidang usaha sehingga merasakan hasil manfaatnya.
Bila Allah menjadikan seorang miskin jadi kaya atau sebaliknya, maka yang demikian itu adalah sepenuhnya di tangan kekuasaan Allah. Maka anjuran Allah menafkahkan sebagian harta ke jalan Allah, semata-mata untuk kemanfaatan manusia sendiri dan memberi petunjuk kepadanya supaya mensyukuri nikmat pemberian itu karena dengan mensyukuri itu akan bertambah banyaklah berkahnya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa sekalian makhluk akan dikembalikan kepada-Nya pada hari kiamat untuk menerima balasan amalnya masing-masing.Ketika Bani Israil meminta kepada nabi mereka agar mengangkat bagi mereka seorang raja dari kalangan mereka sendiri, maka nabi mereka pun menetapkan Thalut sebagai pemimpin mereka.
Thalut adalah seorang dari bala tentara Bani Israil, dan bukan dari kalangan kerajaan, karena kerajaan berada pada kekuasaan keturunan Yahudza. Sedangkan Thalut bukan dari keturunan Yahudza. Oleh karena itu mereka berkata, annaa yakuunu laHul mulku ‘alainaa (“Bagaimana Thalut memerintah kami.”) Artinya, bagaimana mungkin ia akan menjadi raja yang memerintah kami, wa nahnu ahaqqu bil mulki minHu wa lam yu’ta sa’atam minal maali (“Padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya, sedang ia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?”)
Maksudnya, dia adalah orang miskin yang tidak punya harta untuk menjalankan pemerintahan. Padahal keharusan bagi mereka ialah taat dan mengucapkan kata-kata yang baik. Kemudian nabi itu memberikan jawaban kepada mereka seraya berkata: innallaaHash thafaaHu ‘alaikum (“Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian.”) Artinya, Dia telah memilih Thalut sebagai pemimpin kalian dari kalangan kalian sendiri, dan Allah Ta’ala lebih mengetahuinya daripada kalian. Nabi bersabda: “Bukan aku yang menentukannya berdasarkan pandanganku sendiri, tetapi Allah Ta’ala yang menyuruhku untuk memilihnya kerena kalian telah meminta hal itu kepadaku.” wazaadaHu basthatan fil ‘ilmi wal jismi (“Dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”)
Artinya Thalut lebih mengetahui daripada kalian, lebih mulia, lebih perkasa, lebih kuat, dan lebih sabar dalam peperangan, serta lebih sempurna ilmunya dan lebih tegar daripada kalian. Oleh karena itu ia layak menjadi seorang raja karena berpengetahuan, mempunyai bentuk tubuh yang bagus, dan kuat fisik maupun mental. Setelah itu Allah berfirman: wallaaHu yu’tii mulkaHu may yasyaa’u (“Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang Dia kehendaki.”) Maksudnya, Dia-lah yang Mahabijaksana yang mengerjakan apa saja yang Dia kehendaki.
Dia tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang Dia kerjakan, justru merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini karena ilmu, hikmah, dan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman: wallaaHu waasi’un ‘aliim (“Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui.”) Artinya, Dia Mahaluas karunia-Nya, Dia khususkan rahmat-Nya bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan Mahamengetahui siapa yang berhak memegang pemerintahan dan siapa yang tidak berhak. Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, nama nabi tersebut adalah Yusya' ibnu Nun.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Yusya' ibnu Ifrayim ibnu Yusuf ibnu Ya'qub. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran, mengingat Yusya' baru ada jauh setelah masa Nabi Musa. Sedangkan hal yang dikisahkan di dalam ayat ini terjadi di masa Nabi Daud a.s., seperti yang dijelaskan di dalam kisah mengenainya. Jarak antara masa Nabi Daud dengan Nabi Musa kurang lebih seribu tahun, yakni lebih dahulu Nabi Musa a.s. As-Saddi mengatakan bahwa nabi tersebut bernama Syam'un. Sedangkan menurut Mujahid adalah Syamuel a.s.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Wahb ibnu Munabbih, bahwa dia adalah Syamuel ibnu Bali ibnu Alqamah ibnu Turkham ibnu Yahd ibnu Bahrad ibnu Alqamah ibnu Majib ibnu Amrisa ibnu Azria ibnu Safiyyah ibnu Alqamah ibnu Abu Yasyif ibnu Qarun ibnu Yashur ibnu Qahis ibnu Lewi ibnu Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s. Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya mengatakan, pada mulanya kaum Bani Israil sesudah Nabi Musa a.s. berada dalam jalan yang lurus selama satu kurun waktu. Kemudian mereka membuat-buat hal yang baru dan sebagian di antara mereka ada yang menyembah berhala-berhala.
Di antara mereka masih ada nabi-nabi yang memerintahkan kepada mereka untuk berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran, serta meluruskan mereka sesuai dengan ajaran kitab Taurat. Hingga akhimya mereka melakukan apa yang mereka sukai, lalu Allah menguasakan mereka atas musuh-musuh mereka, dan akhimya banyak di antara mereka yang terbunuh dalam jumlah yang sangat besar, banyak yang ditawan oleh musuh-musuh mereka, serta negeri mereka banyak yang diambil dan dijajah oleh musuh-musuh mereka. Pada mulanya tiada seorang raja pun yang memerangi mereka melainkan mereka dapat mengalahkannya.
Hal tersebut berkat kitab Taurat dan tabut (peti) yang telah ada sejak masa lalu; keduanya diwariskan secara turun-temurun dari para pendahulu mereka sampai kepada Nabi Musa a.s. Tetapi tatkala mereka tenggelam di dalam kesesatannya, maka kedua barang tersebut dapat dirampas dari tangan mereka oleh salah seorang raja di suatu peperangan. Raja tersebut dapat merebut kitab Taurat dan tabut dari tangan mereka, dan tiada yang hafal akan kitab Taurat di kalangan mereka kecuali hanya beberapa gelintir orang saja. Kenabian terputus dari keturunan mereka, tiada yang tertinggal dari kalangan keturunan Lewi yang biasanya menurunkan para nabi selain seorang wanita hamil dari suaminya yang telah terbunuh.
Maka kaum Bani Israil mengambil wanita tersebut dan mengarantinakannya di dalam sebuah rumah dengan harapan semoga Allah memberinya rezeki seorang anak yang kelak akan menjadi seorang nabi bagi mereka. Sedangkan si wanita tersebut terus-menerus berdoa kepada Allah Swt. agar diberi seorang anak lelaki. Allah Swt. memperkenankan doa wanita itu dan lahirlah darinya seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Samuel, yang artinya Allah memperkenankan doaku. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa bayi itu diberi nama Syam'un (Samson) yang artinya sama.

Anak tersebut tumbuh dewasa di kalangan kaumnya (Bani Israil) dan Allah menganugerahinya dengan pertumbuhah yang baik. Ketika usianya sampai pada usia kenabian, maka Allah mewahyukan kepadanya yang isinya memerintahkan kepadanya agar mengajak dan menyeru kaumnya untuk menauhidkan Allah Swt. Lalu ia menyeru kaum Bani Israil, dan mereka meminta kepadanya agar ia mengangkat seorang raja buat mereka yang akan memimpin mereka dalam memerangi musuh-musuh mereka, karena raja mereka telah binasa. Maka si Nabi berkata kepada mereka, "Apakah kalian benar-benar jika Allah mengangkat seorang raja untuk kalian, bahwa kalian akan berperang dan menunaikan tugas yang dibebankan kepada kalian, yaitu berperang bersamanya?"

AYAT 243-244


TAFSIR SURAT AL-BAQARAH:243-244*
TAFSIR QURAN DAN HADIS TABBARAK
 JAM 8 Pagi selasa. 15,ogs,2017
HURAIAN & HUJAH PENULIS.
berkata abuhurairah tentang seorang yang gugur syuhadah dalam perperangan dalam kitab karagan nya,.,. *Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu pernah berkata:”Tahukah kalian siapakah orang yang masuk Surga tetapi tidakpernah shalat walaupun sekali?” Kemudian dia sendiri yang menjawab: “Dia adalah Amr bin Tsabit”. Ibnu Ishaq berkata bahwa Hushain bin Muhammad pernah berkata: “Aku bertanya kepada Mahmud bin Labid,’Bagaimana kisah Amr bin Tsabit itu?’, ia menjawab,’Dulunya, Amr bin Tsabit itu menolak agama Islam. Akan tetapi, saat terjadi perang Uhud dia menjadi simpatik kepada Islam. Kemudian dia mengambil pedangnya dan bergabung dengan kaum muslimin. Saat perang sedang berkecamuk dia masuk ke kancah peperangan sampai akhirnyadia terluka. Ketika ditemukan oleh orang-orang yang sekabilah dengannya, mereka bertanya,’Apa yang membuatmu datang ke mari? Apakah karena kasihan pada kaum kabilahmu, ataukah karena kau ingin masuk Islam?’ Dia jawab,’Ya, karena aku ingin masuk agama Islam, aku telah berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga aku terluka begini’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi ura sallam bersabda,’Sungguh dia adalah ahli Surga.”‘ Dalam riwayat lain disebutkan: Kemudian dia meninggal karena lukanya maka dia masuk surga dan tidak pernah melaksanakan shalat sekalipun ( Fathul Bari Syarh Shahihul Bukhari (6/25) Kitab Al-jihad. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sanad hadits ini shahih) * Dalam kisah tersebut mengandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tindakan menghidarkan diri dari takdir itu sama sekali tidak berguna. Dan bahwasanya tidak ada tempat berlindung dari ketentuan Allah kecuali kepada-Nya. Karena mereka pergi dengan tujuan menghindarkan diri dari wabah penyakit untuk meraih kehidupan yang panjang, tetapi mereka mendapatkan kebalikan dari apa yang mereka tuju. Kematian mendatangi mereka dengan cepat dan dalam satu waktu.Sebagai mana ayat dari surah lembu betina.yang mana ayat 243 & 244 yang mana allah azawajalla berfirman:* Bismillahir-rahman-nir-rahim...............243.‘Alam tara ‘ilallaziina Kharajuu min diyaarihim wa hum ‘uluufun hazaral mawt? Fa –qaala lah mullaahu muu – tuu: summa ‘ah – yahum. ‘Innallaaha la – Zuu Fadlin ‘alanaasi wa laakinna ‘aksaran – naasi laa yash – kuruun.244.Wa qaa – tiluu fii sabiilillaahi wa' – lamuun ‘anallaaha Samii – ‘un ‘Aliim. ۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.* *Sesungguhnya Jihad fie sabilillah adalah urusan terberat dan tersukar yang dihadapi oleh manusia. Sehingga tidak akan mampu memikulnya kecuali hanya segelintir manusia. Untuk mengimbangi beratnya beban jihad itu,maka Allah telah menyediakan ganjaran yang besar atas penderitaan, kesungguhan dan kepayahan para pelakunya. Dan berkata al-Ustadz Sa’id Hawa: “Sesungguhnya Jihad ini tidak akan dapat tegak dan terlaksana dengan segala tuntutannya, dan tidak akan mampu serta kuat berjalan di atas jalan Jihad kecuali oleh orang-oarang yang tidak memperdulikan celaan-celaan orang-orang yang mencela di dalam Dzat Allah, kerana Allah dan di jalan Allah. Demikian juga Jihad yang ikhlas itu tidak akan wujud dan terbukti di hadapan manusia melainkan dia dapat membebaskan diri (terselamat) dari ujian hidup dunia, dan dia memiliki ilmu (yang memadai).” Kerana sukar dan beratnya perjalanan Jihad ini, maka tidak ramailah manusia yang berminat di dalamnya dan ikut serta bergabung dengannya, meskipun ia menjanjikan ganjaran yang sangat besar dan balasan syurga. Al-Jihad merupakan barometer iman (alat pengukur iman), untuk menentukan shahih dan dhaifnya, tulen dan palsunya, ikhlas dan pura-puranya sehingga dapat diketahui dengan jelas dan terang siapa mukmin sejati dan munafiq yang berpura-pura.* Disebutkan kisah ini adalah untuk menyemangatkan kaum muslimin dalam berperang. Oleh karena itu, setelah ayat ini disebutkan perintah berperang di jalan Allah.Karena penyakit tha'un atau karena perang. Dalam tafsir Al Jalalain disebutkan bahwa mereka adalah salah satu kaum Bani Israil, di mana negeri mereka terserang penyakit tha'un, lalu mereka melarikan diri karena takut mati, maka Allah mematikan mereka sebagai hukuman bagi mereka karena melarikan diri dari qadar Allah. Kemudian setelah delapan hari atau lebih, mereka dihidupkan kembali oleh Allah dengan do'a nabi mereka Hizqail, wallahu a'lam. Hal tersebut merupakan rahmat, kelembutan dan santunnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada manusia, sekaligus bukti bahwa Allah mampu menghidupkan yang telah mati.Untuk disempurnakan ajalnya dan agar mereka mengambil pelajaran serta bertobat.Di antaranya adalah dihidupkan-Nya mereka setelah matinya dan diarahkan-Nya mereka kepada yang terbaik.Nikmat yang diberikan bukan menambah mereka bersyukur, bahkan nikmat-nikmat tersebut seringnya mereka gunakan untuk maksiat kepada Allah. Sedikit sekali di antara mereka yang bersyukur; mengenal nikmat tersebut dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah.Untuk membela dan meninggikan agama Allah. Oleh karena itu, perbaikilah niat, carilah keridhaan Allah dan ketahuilah bahwa berdiam diri tidak berperang bukanlah cara untuk menjaga kehidupan dan menyelamatkan diri sebagaimana dalam kisah orang-orang yang yang pergi melarikan diri karena takut mati, ternyata mereka ditimpa kematian. Perhatikan dan ketahuilah, hai Nabi, sebuah kisah yang unik. Yaitu kisah tentang suatu kaum yang meninggalkan kampung halaman dan melarikan diri dari medan perang karena takut mati. Mereka berjumlah ribuan orang. Lalu Allah menakdirkan untuk mereka kematian dan kekalahan melawan musuh. Sampai akhirnya, ketika jumlah yang tersisa itu berjuang dengan semangat patriotisme, Allah menghidupkan mereka kembali. Sesungguhnya hidup terhormat setelah mendapatkan kehinaan merupakan karunia Allah yang patut disyukuri, akan tetapi kebanyakan orang tidak mensyukurinya.Jika kalian telah mengetahui bahwa tiada guna melarikan diri dari kematian, maka berjuanglah dengan seluruh jiwa demi menegakkan agama Allah. Yakinlah bahwa Allah mendengar apa yang dikatakan orang yang enggan berperang dan orang yang rela berjuang. Dan Dia mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati. Maka kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Sebaliknya, kejahatan juga akan dibalas dengan kejahatan. Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah: alam tara ilalladziina kharajuu min diyaariHim wa Hum uluufun hadzaral mauti (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu jumlahnya karena takut mati,”) ia mengatakan, “Mereka berjumlah empat ribu orang. Mereka pergi untuk menghindarkan diri dari wabah tha’un. Mereka mengatakan, “Kami akan pergi ke daerah yang tidak ada kematian disana.” Dan ketika mereka sampai di suatu tempat, Allah Ta’ala berfirman kepada mereka, “Matilah kamu.” Maka mereka pun mati semuanya. Setelah itu ada seorang nabi yang melewati mereka. Ia berdo’a kepada Rabb-Nya agar Dia menghidupkan mereka. Kemudian Allah Ta’ala menghidupkan mereka. Dihidupkannya mereka kembali oleh Allah, mengandung pelajaran dan dalil yang pasti akan adanya kebangkitan jasmani pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu Allah berfirman, innallaaHa dzuu fadlin ‘alannaasi (“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia.”) Yaitu karunia berupa diperlihatkannya tanda-tanda kekuasaan Allah yang jelas. Walaakinna aktsaran naasi laa yasykuruun (“Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”) Artinya, mereka tidak bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, baik nikmat agama maupun dunia. Termasuk dalam pengertian ini adalah sebuah hadits shahih Yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa Abdurrahman bin Auf memberitahu Umar bin Khaththab di Syam, Nabi bersabda: “Sesungguhnya penyakit ini dijadikan sebagai siksaan bagi umat-umat sebelum kalian. Jika kalian mendengarnya melanda di suatu daerah, maka janganlah memasuki daerah itu. Dan jika penyakit itu melanda di suatu daerah, sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya.”Ia menuturkan, kemudian Umar bin Khaththab pulang kembali Syam (tidak jadi memasuki wilayah Syam).Hadits senada juga diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahihain, dari Malik, dari az-Zuhri.Firman Allah: wa qaatiluu fii sabiilillaaHi wa’lamuu annallaaHa samii’un ‘aliim (“Dan peranglah kamu di jalan Allah. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Mahamengetahui.”) Maksudnya, sebagaimana tindakan menghindarkan diri dari takdir sama sekali tidak bermanfaat, demikian juga halnya tindakan melarikan diri dan menghindar dari jihad sama sekali tidak mendekatkan atau menjauhkan ajal kematian yang telah ditetapkan dan rizki yang sudah digariskan, bahkan hal itu merupakan ketentuan yang tidak ditambah ataupun dikurangi.Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak bunuh.’ Katakanlah: ‘Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Ali Imraan: 168).

AYAT 240-242


TAFSIR SURAT AL-BAQARAH:240-241-242*
TAFSIR QURAN DAN HADIS TABBARAK
JAM 8 Pagi iSNIN. 14,ogs,2017
HURAIAN & HUJAH PENULIS. Kebanyakkan ulama mengatakan, ayat ini mansukh (dihapuskan) dengan ayat sebelumnya, yaitu firman Allah yang artinya: “(Hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234). dari ayat ini jua allah inggin menyatakan tentang luas nya hukum nya terhadap tiap mahluk ciptaan nya atas dunia ,., baik yang berkuasa atau yang lemah tiada satu pun teraniaya dalam hukum allah., dan tiada yang terlepas dari keadilan allah azawajalla ,. Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).sebagai mana pendapat imam ibnu katsir dalam kitab karangan nya ,Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan yang benar selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)jelas bahawa allah azawajalla inggin menyatakan bahawa hukum hukum al-quran terhadap sesuatu perkara baik masaalah yang terjadi ketika mana berlaku pernceraian atau kematian yang mana kedua kedua nya akan terjadi pembahgian harta dan tentang soal orang yang ditinggalkan simati atau di ceraikan.,,. maka jika kalian berhukum dengan ayat ayat allah maka tiada seorang pun diantara kalian yang bakal teraniaya atau di tindas dengan sesama persaudaraan,.., sebagai mana allah azawajalla menyatakan Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)sebagai mana tiga ayat dari surah lembu betina ini jelas allah menyatakan bahawa hukum allah adalah adil jelas dan tiada yang bakal tertindas atau di aniaya,.., allah berfirman dalam ayat 240*241*242;;;;;;dibawah yang berbunyi.,.,Bismillahir-rahman-nir-rahim,...............240.Wallaziina yutawaffawna minkum wa yazaruuna ‘azwaa – janw – was –siyyat – alli – ‘azwaajihim – mataa ‘an ‘ilal – hawli ghayra ‘ikh – raaj. Fa – ‘in kharajna falaa junaaha ‘alaykum fii maa fa – ‘alna fiii ‘anfusihinna mim – ma' ruuf. Wallaahu ‘Aziizun – Hakim.241.Wa lil – mutallaqaati mataa – ‘um – bil – ma' ruuf. Haqqan ‘alal – Muttaqiin.242.Kazaalika yubayyinul – laahu – lakum ‘Aayaatihii la –‘allakum ta' – qiluun. ------------------------------------------------------------------------ وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ۚ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(-240*وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ(-241*كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ(-242* Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. --------------------------------------------------------------------------- Berwasiat kepada istri dimansukh dengan ayat warisan.Dari hari meninggalnya. Menunggu selama setahun, dimansukh dengan ayat 234 sebelumnya yang memerintahkan agar wanita yang ditinggal wafat suami menunggu selama empat bulan sepuluh hari. Adapun nafkah yang berupa tempat tinggal, maka menurut Imam Syafi'i rahimahullah tidak dimansukh.Oleh para ahli waris Seperti berhias dan tidak berkabung. Mut'ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. Mut'ah ini wajib diberikan kepada wanita yang ditalak sebelum dicampuri. Ada pula yang berpendapat bahwa mut'ah wajib diberikan kepada semua wanita yang ditalak berdasarkan keumuman ayat ini. Namun karena ada ka'idah "Hamlul mutlak 'alal muqayyad" (membawa yang mutlak kepada yang muqayyad), di mana pada ayat sebelumnya sudah diterangkan lebih rinci bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewajibkan mut'ah kepada wanita yang ditalak sebelum ditentukan mahar dan sebelum dicampuri saja, maka inilah yang dipakai.Sesuai kemampuan. Dengan keterangan semacam ini dan ketentuan hukum yang mewujudkan kemaslahatan, Allah menjelaskan hukum, nikmat dan tanda kekuasaan-Nya, agar kalian merenunginya dan melakukan sesuatu yang baik. ----------------------------------------------- Diriwayatkan melalui Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan isterinya, maka isterinya harus menjalani iddah selama satu tahun di dalam rumahnya dengan diberi nafkah dari harta mantan suaminya. Dan setelah itu Allah Ta’ala menurunkan firman: wal ladziina yutawaffauna minkum wayadzaruuna azwaajay yatarabbashna bi-anfusiHinna arba’ata asyHuriw wa ‘asyran (“Orang-orang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri [hendaklah para isteri itu] menangguhkan dirinya [beriddah] empat bulan sepuluh hari.”) Inilah masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, kecuali jika ia ditinggal mati dalam keadaan hamil. Maka iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya. Dan firman Allah yang artinya: “Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (QS. An-Nisaa’: 12) Dengan demikian, Allah swt. telah menguraikan masalah harta pusaka (warisan), peninggalan wasiat, dan pemberian nafkah. Atha’ mengatakan, “Kemudian datanglah masalah pembagian warisan, maka dihapuslah masalah tempat tinggal. Sehingga seorang wanita boleh menjalankan masa iddahnya di mana saja yang ia kehendaki dan tidak haruskan tempat tinggal.” Kemudian dari jalur Ibnu Abbas, Imam Bukhari meriwayatkan yang serupa dengan pendapat yang disampaikan sebelumnya yang dinyatakan oleh Mujahid dan Atha’, bahwa ayat ini tidak menunjukkan diwajibkannya iddah selama satu tahun, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Dimana ketentuan tersebut mansukh dengan ketentuan empat bulan sepuluh hari. Namun demikian, ayat tersebut menunjukkan perihal wasiat kepada istri, yaitu agar mereka diperbolehkan tinggal selama satu tahun penuh di rumah suaminya yang sudah meninggal tersebut, jika memang mereka memilih itu. Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: washiyyatal li azwaajiHim (“Hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya.”) Artinya, Allah Ta’ala mewasiatkan kepada kalian sebuah wasiat mengenai diri mereka (para isteri). Hal itu sama seperti firman-Nya yang lain: yuushiikumullaaHu fii aulaadikum (“Allah mewasiatkan [mensyariatkan] kepada kamu tentang [pembagian harta pusaka untuk] anak-anak kamu. (QS. An-Nisaa’: 11) Dan juga seperti firman Allah yang lainnya: washiyyatam minallaaHi (“Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah.”) (QS. An-Nisaa’: 12). Ada juga yang mengatakan, dibaca manshub dengan pengertian, “Hendaklah kamu mewasiatkan sebuah wasiat kepada mereka.” Tetapi ada juga yang membacanya marfu’ dengan pengertian, “Diwajibkan kepada kamu berwasiat.” Yang terakhir ini merupakan pilihan Ibnu jarir, namun para isteri tersebut tetap tidak dilarang dari hal itu, sebagaimana firman-Nya: ghaira ikhraaj (“Dengan tidak disuruh pindah [dari rumahnya].”) Tetapi jika mereka telah menyelesaikan masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari atau dengan melahirkan anak yang dikandungnya, mereka memilih untuk pergi dan pindah dari rumah itu, maka mereka tidak boleh dihalang-halangi, berdasarkan pada firman Allah Ta’ala: fa in kharajna falaa junaaha ‘alaikum fiimaa fa’alna fii anfusiHinna mim ma’ruufin (“Akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tidak dosa bagi kamu [wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka sendiri.”) Pendapat ini cukup terarah dan lafadz ayat itu sendiri mendukungnya. Pendapat ini menjadi pilihan satu kelompok, di antaranya adalah Imam al-Abbas Ibnu Taimiyah. Tetapi ada yang menolak pendapat ini, di antaranya Syaikh Abu Umar bin Abdul Barr. Sedangkan pendapat Atha’ dan para pengikutnya menyatakan bahwa ketentuan itu telah mansukh dengan ayat mengenai harta warisan (mirats), jika mereka bermaksud lebih dari sekedar tinggal di rumah mantan suaminya selama empat bulan sepuluh hari, maka dapat diterima. Tetapi jika yang mereka maksudkan adalah pemberian tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari tidak wajib dalam harta pusaka, maka inilah titik perbedaan yang terjadi di antara para imam. Keduanya adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu. Pendapat mereka yang mewajibkan memberi tempat tinggal di rumah mantan suami adalah didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’, dari Sa’ad bin Ishak bin Ka’ab bin Ajrah, dari bibinya, Zainab binti Ka’ab bin Ajrah, bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, (saudara perempuan Abu Sa’id al-Khudri ra), bercerita kepada (Zainab binti Ka’ab bin Ajrah) bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah untuk menanyakan apakah ia boleh pulang kembali ke keluarganya di Bani Khudrah, karena suaminya pergi keluar rumah mencari beberapa budaknya, hingga ketika ia menemukan mereka dipinggir daerah Qadum, mereka membunuhnya. Furai’ah melanjutkan ceritanya, kemudian aku meminta kepada Rasulullah agar membolehkan aku kembali kepada keluargaku di Bani Khudrah, kerena suamiku tidak meninggalkanku di rumah miliknya dan tidak pula meninggalkan nafkah. Setelah itu, Nabimenjawab: “Ya.” Lalu aku pun pulang hingga ketika aku berada di dalam kamar, Rasulullah memanggilku atau menyuruh untuk memanggilku. Kemudian beliau berkata: “Bagaimana cerita yang engkau sampaikan tadi?” Maka aku pun mengulangi kembali kisah yang telah kusampaikan itu mengenai keadaan suamiku. Lalu beliau bersabda: “Tinggallah di tempat tinggalmu hingga masa iddahmu selesai.” Furai’ah melanjutkan ceritanya, maka aku pun menjalani iddah di sana selama empat bulan sepuluh hari. Dan ketika Utsman bin Affan mengirim utusan kepadaku untuk menanyakan hal itu kepadaku, maka aku pun memberitahukan kepadanya dan Utsman pun mengikutinya dan memberikan keputusan (yang sama) dengannya. Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i, dari Malik. An-Nasa’i dan Ibnu Majah juga meiwayatkan hadits tersebut dari Sa’ad bin Ishak. Menurut at-Tirmidzi hadits tersebut hasan shahih. Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa lil muthallaqaati mataa’um bilma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiin (“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya] mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika turun firman Allah Ta’ala: mataa’am bilma’ruufi haqqan ‘alal muhsiniin (“Pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”)(QS. Al-Bagarah 236) Ada seseorang yang mengatakan: “Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, maka aku akan mengerjakan, dan jika aku menghendaki aku tidak akan mengerjakannya.” Lalu turunlah ayat ini: wa lil muthallaqaati mataa’um bilma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiin (“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya] mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”) (QS. Al-Baqarah: 241) Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang yang mewajibkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik yang belum diserahkan maharnya, maupun yang sudah ditentukan maharnya, baik wanita yang diceraikan sebelum dicampuri atau yang sudah dicampuri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu. Dan pendapat ini pula yang menjadi pegangan Sa’id bin Jubair dan ulama salaf lainnya, dan menjadi pilihan Ibnu jarir. Sedangkan orang-orang yang tidak mewajibkannya secara mutlak mengkhususkan keumuman ayat ini dengan pengertian firman Allah Ta’ala berikut ini yang artinya: “Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236). Ulama kelompok pertama menyatakan bahwa hal itu merupakan bentuk penyebutan beberapa bagian yang umum, sehingga tidak ada pengkhususan menurut pendapat yang masyhur. Wallahu a’lam. Firman-Nya: kadzaalika yubayyinullaaHu lakum aayaatiHii (“Demikianlah Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya [hukum-hukum-Nya].”) Maksudnya, dalam hal yang menyangkut halal, haram, fardhu serta batasan-batasan mengenai apa yang diperintahkan dan dilarang. Dia menjelaskan dan menafsirkan semuanya itu secara gamblang serta tidak meninggalkannya secara mujmal (global) pada saat kalian membutuhkannya, la’allakum ta’qiluun (“Supaya kalian memahaminya.”) Atau dengan kata lain, memahami dan merenungkannya.

JILIK KE 2 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK AKAN BERPINDAH PADA EKAUN G.MAIL YANG BAHARU,.,.INSYAALLAH PADA TAHUN 2019,.,.,AMIIIN

JILIK KE 2 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK AKAN BERPINDAH PADA EKAUN G.MAIL YANG BAHARU,.,.INSYAALLAH PADA TAHUN 2019,.,.,AMIIIN