TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK'
Ayat 1-5 dari surah Ath-Thalaq
ini menjelaskan hukum-hukum Allah terkait rumah tangga:
BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM'الطلاق 1. yaa ayyuhaa alnnabiyyu idzaa thallaqtumu alnnisaa-a fathalliquuhunna li’iddatihinna wa-ahsuu al’iddata waittaquu allaaha rabbakum laa tukhrijuuhunna min buyuutihinna walaa yakhrujna illaa an ya/tiina bifaahisyatin mubayyinatin watilka huduudu allaahi waman yata’adda huduuda allaahi faqad zhalama nafsahu laa tadrii la’alla allaaha yuhditsu ba’da dzaalika amraan 2. fa-idzaa balaghna ajalahunna fa-amsikuuhunna bima’ruufin aw faariquuhunna bima’ruufin wa-asyhiduu dzaway ‘adlin minkum wa-aqiimuu alsysyahaadata lillaahi dzaalikum yuu’azhu bihi man kaana yu/minu biallaahi waalyawmi al-aakhiri waman yattaqi allaaha yaj’al lahu makhrajaan 3. wayarzuqhu min haytsu laa yahtasibu waman yatawakkal ‘alaa allaahi fahuwa hasbuhu inna allaaha baalighu amrihi qad ja’ala allaahu likulli syay-in qadraan 4. waallaa-ii ya-isna mina almahiidhi min nisaa-ikum ini irtabtum fa’iddatuhunna tsalaatsatu asyhurin waallaa-ii lam yahidhna waulaatu al-ahmaali ajaluhunna an yadha’na hamlahunna waman yattaqi allaaha yaj’al lahu min amrihi yusraan 5. dzaalika amru allaahi anzalahu ilaykum waman yattaqi allaaha yukaffir ‘anhu sayyi-aatihi wayu’zhim lahu ajraan
65:1 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا 65:2 فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا65:3 وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا65:4 وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا65:5 ذَٰلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنْزَلَهُ إِلَيْكُمْ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
Nabi saw.dijadikan lawan bicara, secara langsung sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. Setelah itu Allah menyapa umat Islam tidak secara langsung. Yaa ayyuHan nabiyyu idzaa thallaqtumun nisaa-a fathalliquHunna li’iddatiHinn (“Hai Nabi, jika engkau menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] ‘iddahnya [yang wajar].”) telah disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menceraikan Hafshah kemudian merujuknya kembali. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Syihab, Salimm memberitahuku, ‘Abdullah bin ‘Umar pernah memberitahunya, bahwa dia pernah menceraikan istrinya ketika dia dalam keadaan haidh. Kemudian ‘Umar menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah saw. maka beliau marah dan bersabda: “Hendaknya dia merujuknya kembali, lalu menahannya hingga ia bersih dari haidhnya itu, lalu haidh dan bersih lagi. Jika masih ingin menceraikannya, maka ceraikanlah dia dalam keadaan bersih sebelum dia bercampur dengannya. Itulah ‘iddah yang telah diperintahkan oleh Allah swt.” Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di sini, dan dia juga telah meriwayatkan di beberapa tempat dalam kitabnya. Dan menurut riwayat Muslim dengan lafadz sebagai berikut: “Itulah ‘iddah yang telah diperintahkan Allah jika seorang laki-laki hendak menceraikan istrinya.” (HR Muslim)
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan dan Musnad, melalui jalan yang beragam dan juga dengan lafadz yang banyak. Adapun lafadz yang paling mendekati adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, melalui jalan Ibnu Juraij; Abuz Zubair memberitahuku, bahwasannya dia pernah mendengar ‘Abdurrahman bin Aiman, maula ‘Uzzah, dia bertanya kepada ‘Umar, sedang Abuz Zubair mendengarnya: “Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya ketika sedang haidh?”
Dia menjawab: “Ibnu ‘Umar pernah menceraikan istrinya ketika sedang haidh pada masa Rasulullah saw. maka beliau bersabda: ‘Hendaknya dia merujuknya kembali.’ kemudian diapun merujuknya kembali lalu beliau bersabda lagi: ‘Jika dia sudah bersih, maka ceraikanlah dia atau pertahankanlah.’ Ibnu Umar mengatakan: ‘Pada saat itu, Nabi saw. membacakan ayat: Yaa ayyuHan nabiyyu idzaa thallaqtumun nisaa-a fathalliquHunna li’iddatiHinn (“Hai Nabi, jika engkau menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] ‘iddahnya [yang wajar].”)”
Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Bertolak dari hal tersebut di atas, beberapa ulama salaf –seperti imam Ahmad bin Hambal- dan para pengikut mereka, berpendapat bahwa wanita yang dijatuhi talak ba’in [nyata] tidak berkewajiban untuk tinggal di rumah suaminya, demikian juga wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya.
Dalam hal itu mereka bersandar pada hadits Fathimah binti Qais al-Fahriyyah ketika dia diceraikan oleh suaminya, Abu ‘Amr bin Hafsh pada talak terakhir. Ketika itu Abu ‘Amr tidak berada di sisinya, tetapi ia berada di Yaman. Ia mengirimkan utusan kepada istrinya untuk menyampaikan berita itu. Abu ‘Amr mengirimkan wakilnya kepada istrinya dengan membawa gandum sebagai nafkah. Tetapi istrinya itu marah kepadanya. Maka dia [Abu ‘Amr] pun berkata: “Engkau tidak berhak mendapatan nafkah dari kami.” Setelah itu wanita tersebut mendatangi Rasulullah saw. lalu beliau pun bersabda: “Engkau sudah tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.”
Dan menurut riwayat Muslim: “Dan tidak juga tempat tinggal.” Kemudian beliau memerintahkan istrinya itu untuk menjalani ‘iddah di rumah ummu Syuraik. Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda: “Dia adalah wanita yang banyak didatangi oleh para shahabatku. Jalanilah ‘iddah di rumah ummi Maktum, sesungguhnya dia itu orang buta, engkau dapat melepaskan pakaianmu.” (musnad al-Imam Ahmad dan Sunan Abi Dawud) Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalan lain dan lafadz yang lain pula, dimana dia berkata, Yahya bin Sa’id memberitahu kami dari Mujahid, dari ‘Amir, dia bercerita: Aku sampai di kota Madinah, kemudian aku mendatangi Fathimah binti Qais, lalu dia memberitahuku bahwa suaminya telah menceraikannya di masa Rasulullah saw.
Lalu beliau mengirimkan suaminya itu untuk berperang dalam salah satu peperangan. Kemudian saudaranya berkata kepadaku: “Keluarlah dari rumah ini.” Dan kukatakan: “Aku masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sampai masa ‘iddah selesai.” “Tidak bisa.” Sahutnya. Maka, lanjut Fathimah, “Aku langsung mendatangi Rasulullah saw. dan kukatakan: “Sesungguhnya si fulan telah menceraikanku, saudara laki-lakinya pun mengusirku dan menghalangiku tinggal di rumahnya dan mendapatkan nafkah.” Maka beliaupun bersabda kepada laki-laki itu: “Apa yang telah terjadi antara engkau dengan anak perempuan Qais itu?”
Dia mengatakan: “Ya Rasulallah, saudaraku telah menceraikannya tiga kali sekaligus.” Rasulullah saw. bersabda: “Perhatikanlah hal itu wahai puteri keluarga Qais, yang berhak menerima nafkah dan tempat tinggal itu hanyalah istri yang dicerai suaminya selama suaminya itu berhak untuk merujuknya kembali. namun jika dia sudah tidak berhak lagi merujuknya, maka istrinya itu tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Keluarlah engkau dari rumah itu, dan tinggallah di rumah fulanah.” Kemudian beliaupun bersabda: “Ia adalah wanita yang sering dikunjungi shahabatku.” Lalu beliau bersabda: “Tinggallah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang buta yang tidak dapat melihatmu.”” Kemudian dia menyebutkan hadits secara lengkap. Ibnu Jarir menceritakan: “Tidak dibenarkan pernikahan, perceraian, dan rujuk melainkan dihadiri oleh dua orang saksi yang adil, sebagaimana yang difirmankan Allah swt. kecuali karena adanya asalan yang dibenarkan.”
65:4 وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Dan firman Allah: inirtabtum (“Jika kamu ragu-ragu.”) mengenai hal ini terdapa dua pendapat: 1. Pendapat pertama, merupakan pendapat sekelompok ulama salaf, seperti Mujahid, az-Zuhri dan Ibnu Zaid, yakni jika wanita-wanita itu melihat adanya darah sedangkan kalian ragu apakah itu darah haidl atau darah istihadhah. 2. Pendapat kedua, jika kalian ragu mengenai hukum ‘iddah mereka sedang kalian sendiri tidak mengetahuinya, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan. Demikianlah yang diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Itulah yang lebih jelas pengertiannya. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Abu Kuraib dan Abu as-Sa-ib, keduanya berkata: Ibnu Idris memberitahu kami, Mutharrif memberitahu kami, dari ‘Amir bin Salim, dia berkata, Ubay bin Ka’ab berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya ada beberapa kelompok wanita yang tidak disebut dalam al-Qur’an, yaitu wanita yang masih kecil, wanita tua, dan wanita yang sedang hamil.”
Maka selanjutnya Allah berfirman: wal laa-ii ya-isna minal mahii-dli min nisaa-ikum inirtabtum fa’iddatuHunna tsalaatsatu asyHuriw wal laa-ii lam yahidlna wa ulaatul ahmaali ajaluHunna ay yadla’na hamlaHunna (“Dan perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh lagi [menopouse] di antara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu [tentang masa ‘iddahnya], maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Dan begitu [pula] perempuan-perempuan yang belum haidh. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”) demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang lebih sederhana dari siyaq ini. Imam Al-
Bukhari meriwayatkan, Sa’id bin Hafsh memberitahu kami, Syaiban memberitahu kami, dari Yahya, dia bercerita, Abu Salamah memberitahuku, dia bercerita: Ada seseorang yang datang kepada Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah, dia bertanya: “Berikanlah fatwa kepadaku tentang seorang wanita yang melahirkan setelah empat puluh hari suaminya meninggal.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Akhir dari dua waktu.” Aku bacakan: wa ulaatul ahmaali ajaluHunna ay yadla’na hamlaHunna (“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”) Sedangkan Abu Hurairah berkata: “Aku bersama keponakanku [Abu Sulamah].” Kemudian Ibnu ‘Abbas mengirimkan budaknya yang bernama Kuraib kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya. Lalu Ummu salamah Salamah berkata: “Suami Subai’ah al-Aslamiyyah dibunuh sedang dia [Subai’ah] dalam keadaan hamil, lalu dia melahirkan setelah empat puluh hari setelah kematiannya. Lalu ia dilamar dan dinikahkan oleh Rasulullah saw. Dan Abu Sanabil termasuk salah seorang yang melamarnya.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Riwayat di atas disampaikan secara ringkas di sini. Al-Bukhari dan Muslim serta para perawi lainnya juga meriwayatkan hadits tersebut secara panjang pada pembahasan lain. Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah, bahwa Subai’ah al-Aslamiyyah ditinggal wafat oleh suaminya sedang dia dalam keadaan hamil. Lalu beberapa malam kemudian, dia melahirkan. Setelah selesai menjalani masa nifasnya, diapun dilamar. Kemudian dia minta izin kepada Rasulullah saw. untuk menikah. Maka beliaupun memberi izin kepadanya untuk menikah. Akhirnya diapun menikah. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahihnya, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, Ibnu Majah melalui beberapa jalan. Sebagaimana Muslim bin al-Hajjaj meriwayatkan dari Ibnu Syihab. ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Atabah memberitahuku, ayahnya pernah menulis surat kepada ‘Umar bin ‘Abdillah bin al-Arqam az-Zuhri. Ia menyuruhnya mendatangi Subai’ah binti al-Harits al-Aslamiyyah untuk menanyakan peristiwa yang dialaminya dan apa yang dikatakan Rasulullah saw. kepadanya ketika dia minta fatwa dari beliau. Kemudian ‘Umar bin ‘Abdillah memberitahukan, Subai’ah telah memberitahunya bahwa dia berada di bawah pemeliharaan Sa’ad bin Khaulah, dia [Sa’ad] termasuk salah seorang yang ikut dalam perang Badar. Kemudian dia wafat, meninggalkan istrinya ketika sedang menunaikan haji Wada’, padahal istrinya sedang hamil. Tidak lama setelah kematian suaminya itu, istrinya melahirkan. Setelah selesai menjalani masa nifasnya, dia pun berdandan untuk menyambut lamaran. Kemudian Abu Sanabil bin Ba’kak datang menemuinya dan berkata kepadanya: “Aku tidak mengerti mengapa engkau berdandan?
Apakah engkau berharap akan menikah lagi? Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak dapat menikah lagi sehingga engkau melewati masa empat bulan sepuluh hari.” Kemudian Subai’ah berkata: “Setelah dia mengatakan hal tersebut, aku langsung menyiapkan baju pada sore hari, kemudian aku datang kepada Rasulullah saw. Lalu kutanyakan hal tersebut kepada beliau, maka beliau pun memberikan fatwa kepadaku bahwa aku boleh menikah lagi setelah aku melahirkan, dan beliau menyuruhku menikah jika sudah menemukan laki-laki yang melamar.” Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. '''Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Sinan, dia bercerita: Umar bin al-Khaththab pernah bertanya tentang Abu ‘Ubaidah, lalu dijawab: “Sesungguhnya dia memakai pakaian yang tebal dan memakan makanan yang keras. Kemudian dikirimkan kepadanya seribu dinar. Dan ‘Umar berkata kepada utusan itu: “Perhatikanlah apa yang akan diperbuat dengan uang itu jika dia mengambilnya.” Setelah dia memakai pakaian yang halus dan memakan makanan yang enak, sang utusan datang kembali kepada ‘Umar dan memberitahukannya. Kemudian ‘Umar –rahmat Allah atasnya- menakwilkan ayat ini: liyungfiq dzuu sa’atim min sa’atiHi Wa mang qudira ‘alaiHi rizquHuu falyungfiq mimmaa aataaHullaaHu laa yukallifullaaHu nafsan illaa maa aataaHaa (“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkynya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan [sekedar] apa yang Allah berikan kepadanya.”) Al-Hafidz Abul Qasim ath-Thabrani berkata dalam kitabnya al-Mu’jamul Kabiir, dari Syuraih bin ‘Ubaid bin Abi Malik al-Asy’ari, yang namanya adalah al-Harits dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Terdapat tiga orang, salah satu dari mereka mempunyai sepuluh dinar. Dari jumlah itu dia menyedekahkan satu dinar. Lalu seorang lainnya mempunyai sepuluh uqiyah, dan darinya dia menyedekahkan satu uqiyah saja. sedangkan orang ketiga mempunyai seratus uqiyah, lalu darinya dia bersedekah sepuluh uqiyah.” Rasulullah saw bersabda: “Dalam masalah pahala, mereka adalah sama, karena masing-masing telah menyedekahkan sepersepuluh harta yang dimilikinya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya.’” Hadits ini gharib dari sisi ini.
HURAIAN,..,.,
Bila terjadi perceraian, maka harus ada masa ‘iddah (menunggu) seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 228. Sedangkan cerai (talak) yang sah ialah saat istri dalam keadaan bersih dan belum digauli setelah selesai haid atau menstruasi. Selama dalam masa ‘iddah, istri masih berhak tinggal di rumah suami karena masih dalam tanggungannya sampai ‘iddah selesai. Kecuali jika istri tersebut melakukan zina dengan saksi yang jelas. Hikmah ada masa ‘iddah adalah karena bisa saja Allah berikan kesadaran kepada suami dan istri sehingga tidak jadi bercerai. Ini adalah hukum Allah yang wajib ditaati. Jika masa ‘iddah habis, maka boleh menikahinya kembali atau melepaskannya dengan baik dan disaksikan dua saksi lelaki yang adil. Ini adalah ajaran Allah bagi kaum Mukmin. Jika penyelesaian masalah rumah tangga itu didasari takwa pada Allah, maka Allah akan menunjukkan jalan keluar yang baik dan memberi rezeki dari jalan yang tidak diduga. Allah akan mencukupkan kehidupan orang yang bertawakal pada-Nya. Allah melaksanakan kehendak dan takdir-Nya pada hamba-Nya. Istri yang sudah tidak haid lagi, jika masih ragu, maka ‘iddahnya 3 bulan. Begitu juga istri yang belum haid. Istri yang sedang hamil, ‘iddahnya sampai melahirkan. Siapa yang menyelesaikan perkaranya didasari takwa pada Allah, maka Allah memudahkan urusannya, menghapuskan kesalahannya dan membesarkan pahalanya. Sebab itu, talak adalah solusi terakhir. Setiap permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditimbang dan diselesaikan atas dasar takwa kepada Allah agar dapat bimbingan-Nya.