Isnin, 23 Julai 2018

AYAT 256


TAFSIR SURAT AL-BAQARAH:256*
 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABBARAK
17.08.21 isnen. 8pagi,.,Bismillahir-rahman-nir-rahim
256.Laaa ‘ikraaha fid – Diin. Qatta – bayya – nar – Rushdu minal –Ghayy. Famany yakfur bit – Taa –ghuuti wa yu' – min – bil – laahi faqadis – tamsaka bil –‘urwatil – wusqaa – Lan – fisaama lahaa. Wallaahu Samii – ‘un ‘Aliim. (256) *

*لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

 Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidak Ada Paksaan Untuk Memeluk Islam, Sebelum kita beranjak ke data-data historis tentang peperangan di dalam Islam, ada sebuah kaidah yang perlu dipahami bahwa umat Islam dilarang memaksa, mengancam, dan memberikan tekanan suatu kelompok atau individu tertentu agar mereka memeluk Islam.

Allah Ta’ala berfirman, (QS. Al-Baqarah: 256) [لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ] “Tidak ada paksaan dalam agama.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang sebab diturunkannya ayat ini, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan salah seoarang Anshar (sahabat Nabi dari Madinah) dari Bani Salim bin Auf. Al-Hushaini mengatakan, ‘Sahabat ini memiliki dua orang anak laki-laki yang beragama Nasrani dan dia seorang muslim. Lalu ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku memaksa keduanya karena mereka menolak agama kecuali agama Nasrani. Allah pun menurunkan ayat ini’.” (Tafsir Ibnu Katsir).Jadi, tidak diperkenankan seorang muslim memaksa seseorang atau kelompok tertentu untuk memeluk Islam walaupun orang atau kelompok tersebut di bawah kekuasaannya. Kalau ternyata penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan oleh umat Islam memeluk agama Islam, itu bukan dikarenakan paksaan atau tekanan dari pihak muslim yang berkuasa, akan tetapi dikarenakan kedamaian yang mereka temukan dalam ajaran Islam. Contohnya nyatanya adalah tentang keislaman Tsumamah bin Utsal. --------------------------------------------------------------------------------------

 Allah swt. berfirman: laa ikraaHa fid diini (“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama.”) Maksudnya, janganlah kalian memaksa seseorang memeluk agama Islam. Karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti itu sudah demikian jelas dan gamblang, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluknya. Tetapi barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan dilapangkan dadanya serta diberikan cahaya bagi hati nurainya, maka ia akan memeluknya. Dan barangsiapa yang dibutakan hatinya oleh Allah Ta’ala, dikunci mati pen-dengaran dan pandangannya, maka tidak akan ada manfaat baginya paksaan dan tekanan untuk memeluk Islam. Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah ber-kenaan dengan beberapa orang kaum Anshar, meskipun hukumnya berlaku umum. Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ada seorang wanita yang sulit mempunyai anak, berjanji kepada dirinya, jika putranya hidup, maka ia akan menjadikannya Yahudi. Dan ketika Bani Nadhir diusir, dan di antara mereka terdapat anak-anak kaum Anshar, maka mereka berkata, “Kami tidak mendakwahi anak-anak kami.” Maka Allah menurunkan ayat, laa ikraaHa fid diini qad tabayyanar rusydu minal ghayyi (“Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.”) Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Nasa’i secara keseluruhan. Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama. Jalan kebenaran dan kesesatan telah jelas melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengingkari segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran, maka sesungguhnya ia telah berpegang-teguh pada penyebab terkuat untuk tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Perumpamaannya seperti orang yang berpegangan pada tali yang kuat dan kokoh, sehingga tidak terjerumus ke dalam jurang. Allah Maha Mendengar apa yang kalian katakan, Maha Melihat apa yang kalian lakukan. Maka Dia pun akan membalasnya dengan yang setimpal. (1) (1) Komentar mengenai ayat ini dari segi hukum internasional telah disinggung pada ayat-ayat peperangan, dari nomor 190-195 surat al-Baqarah. ------------------------------------------------------------------------------------------

TAFSIR IBNU KATSIR; Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (QS Al-Fath: 16). Diriwayatkan bahwa dalam hadits shahih disebutkan: “Rabbmu merasa kagum kepada kaum yang digiring ke dalam surga dengan rantai.” Maksudnya, para tawanan yang dibawa ke negeri Islam dalam keadaan diikat dan dibelenggu, setelah itu mereka masuk Islam, lalu amal perbuatan mereka dan hati mereka menjadi baik, sehingga mereka menjadi penghuni surga. Dan firman-Nya: fa may yakfur bith-thaaghuuti wa yu’mim billaaHi faqadistamsaka bil’urwatil wutsqaa lan fishaama laHaa wallaaHu samii’un ‘aliim (“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”) Artinya, barangsiapa yang melepaskan diri dari sekutu-sekutu (tandingan), berhala, serta apa yang diserukan oleh syaitan berupa penyembahan kepada selain Allah, mengesakan-Nya, serta menyembah-Nya, dan bersaksi bahwa tiada Ilah yang haq selain Dia. faqadistamsaka bil’urwatil wutsqaa (“Maka sesungguhnya ia telah berpegagang pada buhul tali yang amai kuat yang tidak akan putus.”) Berarti ia telah benar-benar tegar dan teguh berjalan di jalan yang tepat lagi lurus. Umar ra. mengatakan: “Bahwa al-jibt itu berarti sihir dan thaghut berarti syaitan. Bahwasanya keberanian dan sikap pengecut merupakan tabiat yang melekat pada diri Manusia. Orang yang berani akan memerangi orang-orang yang tidak dikenalnya, sedangkan seorang pengecut lari meninggalkan ibunya. Sesungguhnya kemuliaan seseorang adalah pada agama, kehormatan dan akhlaknya, meskipun ia orang Parsi ataupun rakyat jelata.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, dari Umar ra. Lalu ia menyebutkannya. Dan makna yang diberikan Umar bahwa thaghut berarti syaitan mempunyai landasan yang sangat kuat, ia mencakup segala macam kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, yaitu berupa penyembahan berhala, berhukum, dan memohon bantuan kepadanya. Sedangkan firman-Nya: fa may yakfur bith-thaaghuuti wa yu’mim billaaHi faqadistamsaka bil’urwatil wutsqaa lan fishaama laHaa (“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”) Artinya, ia telah berpegang teguh kepada agama dengan sarana yang sangat kuat. Dan Allah Ta’ala menyerupakan hal itu dengan tali sangat kuat yang tidak akan putus. Tali tersebut sangatlah kokoh, kuat keras ikatannya. Mujahid mengatakan: “Yang dimaksud dengan al-‘urwatul wutsqaa; adalah iman.” Sedangkan as-Suddi mengemukakan: “Yaitu Islam.” Sedangkan Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak mengatakan: “Yaitu kalimat Laa ilaaHa illallaaH.” Dari Anas bin Malik: “Yang dimaksud dengan al-‘urwatul wutsqaa; adalah al-Qur’an.” Dan dari Salim bin Abi al-Ja’ad, ia mengatakan: “Cinta dan benci karena Allah.” Semua ungkapan di atas benar, tidak bertentangan satu dengan lainnya. Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin ‘Ubadah, menceritakan, suatu ketika aku berada di dalam masjid, lalu datang seseorang yang terpancar kekhusyuan dari wajahnya. Kemudian orang itu mengerjakan shalat dua rakaat secara singkat. Orang-orang di masjid itu berkata: “Inilah seorang ahli syurga.” Ketika orang itu keluar, aku mengikutinya hingga masuk ke rumahnya. Maka aku pun masuk ke rumahnya bersamanya. Selanjutnya aku ajak ia berbicara, dan setelah sedikit akrab, maka aku pun berkata kepada-nya: “Sesungguhnya ketika engkau masuk masjid, orang-orang berkata ini dan itu.” Ia berujar: “Subhanallah, tidak seharusnya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Akan aku ceritakan kepadamu mengapa aku demikian. Sesungguhnya pada masa Rasulullah, aku bermimpi ini dan mimpi itupun kuceritakan kepada beliau. Aku pernah bermimpi seolah-olah berada di sebuah taman yang sangat hijau. Ibnu Aun mengatakan: “Orang itu menyebutkan warna hijau dan keluasan taman itu.” Di tengah-tengah taman itu terdapat tiang besi yang bagian bawahnya berada di bumi dan yang bagian atas berada di langit. Di atasnya terdapat tali. Dikatakan kepadaku, “Naiklah ke atasnya.” Aku tidak sanggup,” jawabku. Kemudian datang seorang pelayan kepadaku. -Ibnu Aun mengatakan: yaitu seorang pelayan muda menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata: “Naiklah.” Maka aku pun menaikinya hingga aku berpegangan pada tali itu. Ia berkata: “Berpegangteguhlah pada tali itu!.” Setelah itu aku bangun dari tidur dan tali itu beradatanganku. Selanjutnya aku menemui Rasulullah saw. dan kuceritakan semua-nya itu kepada beliau, maka beliau bersabda: “Taman itu adalah taman Islam, dan tiang itu adalah tiang Islam, sedangkan tali itu adalah tali yang sangat kuat. Engkau akan senantiasa memeluk Islam sampai mati.” Imam Ahmad mengatakan: “Ia adalah Abdullah bin Salam.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahihain. di November 25, 2017

AYAT 255;AYATUL KURSYI'

TAFSIR AYATUL KURSYI''
TAFSIR SURAT AL-BAQARAH:255*
TAFSIR QURAN DAN HADIS TABBARAK
17.08.20 AHAD. 8pagi,., Dalam surah lembu betina ayat 255 terdapat satu ayat yang mana di namakan sebagai ayat kursyi kerna di dalam ayat ini jelas allah menceritakan tentang luas nya kursi allah meliputi langgit dan bumi,.,. sebagai mana jelas dalam ayat ini disebut dalam Hadits dengan diriwayatkan Imam Muslim tanpa adanya tambahan: “Denmi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat kursi itu mempunyai satu lidah dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) sisi tiang ‘Arsy. Inilah yang disebut ayat kursi. Ayat ini mengandung suatu hal yang sangat agung. Dan terdapat sebuah hadits shahih dari Rasulullah, yang menyebutkan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang paling utama di dalam kitab Allah (al-Qur’an). Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Nabi pernah bertanya kepadanya: “Apakah ayat yang paling agung di dalam kitab Allah?””Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui,” sahut Ubay bin Ka’ab. Maka Nabi saw. mengulang-ulang pertanyaan tersebut, dan kemudian Ubay bin Ka’ab menjawab: “Ayat kursi.” Lalu beliau mengatakan: “Engkau akan dilelahkan oleh ilmu, hai Abu Mundzir. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat kursi itu mempunyai satu lidah dan dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) di sisi tiang ‘Arsy.” --------------------------------------------------------------- Allah berfirman ; Bismillahir-rahman-nir-rahim,.,.,..,,.255.‘Allahu laaa ‘ilaaha ‘illaa Huu. ‘Al –Hayyuk –Qayyun. Laa ta' – khuzuhuu sina – tunw – wa laa nawm. Lahuu maa fis – samaawati wa maa fil – ‘ardi. Man – zal – laazii yashfa – ‘u ‘indahuuu ‘illaa bi – ‘iznih? Ya' – lamu maa bayna ‘aydiihim wa maa khalfahum. Wa laa yu – hiituuna bi – shay – ‘im min ‘il – mihiii ‘illaa bimaa shaaa'. Wasi –‘a Kursiyyu – hus – Samaawaati wal – ‘ard; wa laa ya –‘uudu – huu hifzu – humaa wa Huwal – ‘Aliyyul – ‘Aziim. (--*للَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Hanya Allahlah yang berhak untuk disembah. Dia hidup kekal dan terus-menerus mengurus makhluk ciptaan-Nya tanpa pernah lalai. Dia tidak pernah ceroboh atau tidur, sebab Dia tidak memiliki sifat kekurangan. Hanya Dialah yang memiliki langit dan bumi, tidak ada seorang pun yang menyertai-Nya. Maka dari itu, tak seorang makhluk pun dapat memberi syafaat kepada yang lainnya kecuali dengan izin Allah. Allah Swt. mengetahui segala sesuatu yang telah dan akan terjadi. Tidak ada seorang pun mampu mengetahui ilmu Allah kecuali orang-orang yang dipilih-Nya. Kekuasaan-Nya sangat luas, meliputi langit dan bumi. Tidak sulit bagi-Nya mengatur itu semua, sebab Dia terhindar dari sifat kurang dan lemah, dan Mahaagung dengan kekuasaan-Nya. TAFSIR IBNU KATSIR -------------------------------------------------------

     Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar, ia menceritakan: Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. ketika beliau sedang duduk di masjid, lalu aku duduk maka beliau bertanya: “Hai Abu Dzar, apakah engkau sudah shalat?” “Belum,” jawab Abu Dzar. “Berdiri dan kerjakanlah shalat,” perintah Rasulullah. Kemudian, lanjut Abu Dzar, aku bangun dan mengerjakan shalat, setelah itu aku duduk lagi, kemudian beliau bertanya: “Hai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan syaitan yang berwujud manusia dan jin.” Lalu kutanyakan: “Ya Rasulullah, apakah ada syaitan yang berwujud manusia?” “Ya,” jawab beliau. Lalu kutanya lagi: “Ya Rasulullah, apakah shalat itu?” Beliau bersabda: “Merupakan amal yang paling bagus. Barangsiapa menghendaki boleh mengerjakan sedikit dan barangsiapa menghendaki boleh mengerjakan banyak.” Lebih lanjut kutanyakan: “Kemudian apa itu puasa?” Beliau menjawab: “Suatu kewajiban yang berpahala dan di sisi Allah terdapat tambahan (pahala).” Kutanyakan lagi: “Lalu apa yang dimaksud dengan sedekah itu?” Beliau menjawab: “Ibadah yang dilipatgandakan (pahalanya).” Selanjutnya kutanyakan: “Lalu mana di antara sedekah itu yang lebih baik?” Beliau menjawab: “Yaitu sedekah yang diberikan oleh orang yang sedikit hartanya atau sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi kepada orang miskin.” Kutanyakan lagi: “Siapakah nabi yang paling pertama?” Beliau menjawab: “Adam.” Kutanyakan lagi: “Nabi yang bagaimana ia itu?” Beliau menjawab: “Ia adalah nabi yang diajak bicara (oleh Allah secara langsung).” “Ya Rasulullah, berapakah rasul yang diutus?” tanyaku. Beliau menjawab: “Secara keseluruhan mereka berjumlah tiga ratus tiga belas lebih suatu jumlah yang banyak.” Di lain kesempatan Nabi mengatakan: “Mereka berjumlah tiga ratus lima belas orang.” Kutanyakan lagi: “Ya Rasulullah, ayat apa yang paling agung yang telah diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab: “Ayat kursi; Tiada Ilan melainkan hanya Dia yang Maha hidup lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.'” (HR. Nasa’i; Dha’if: Disebutkan oleh al-Haitsami dalam kitab al Majma’ (726), ia berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Ausath seperti ini, di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama al-Mas’udi. Dia tsiqah, tetapi hafalannya bercampur/kacau.”) Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam kitabnya, Shahih Bukhari pada bab Fadhailu al-Qur’an (keutamaan-keutamaan al-Qur’an) dan juga dalam bab al Walakah, dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. pernah memberikan tugas kepadaku untuk menjaga zakat bulan Ramadhan. Lalu ada seseorang yang mendatangiku seraya meraup makanan, maka aku pun segera menangkapnya seraya kukatakan: ‘Akan aku laporkan kamu kepada Rasulullah.’ Orang itu berkata: ‘Biarkanlah aku mengambilnya, sesungguhnya aku membutuhkannya untuk menanggung keluargaku yang banyak, dan aku punya keperluan yang sangat mendesak.’ Abu Hurairah melanjutkan ceritanya, kemudian aku pun membiarkannya, hingga pada keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata: ‘Hai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kujawab, lanjut Abu Hurairah: ‘Ya Rasulullah, ia mengadukan kebutuhannya yang sangat mendesak dan keluarganya yang banyak. Maka aku merasa kasihan kepadanya dan aku biarkan ia berlalu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia telah membohongimu dan akan kembali.’ Aku tahu bahwa orang itu akan kembali lagi berdasarkan sabda Rasulullah saw., ‘Bahwa ia akan kembali.’ Kemudian aku pun mengintainya. Ternyata ia datang dan meraup makanan. Lalu aku menangkapnya kembali dan kukatakan: ‘Akan aku laporkan engkau kepada Rasulullah.’ Maka orang itu pun berujar: ‘Biarkanlah aku mengambilnya, sesungguhnya aku benar-benar terdesak oleh kebutuhan dan tanggungan keluarga, aku tidak akan kembali.’ Maka aku pun kasihan dan aku biarkan ia berlalu. Dan pada keesokan harinya, Rasulullah berkata kepadaku: ‘Hai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kukatakan: `Ya Rasulullah, ia mengadukan kebutuhannya yang sangat mendesak dan keluarganya yang banyak. Maka aku merasa kasihan kepadanya dan aku biarkan ia berlalu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia telah membohongimu dan is akan kembali.’ Selanjutnya kuintai untuk ketiga kalinya, dan temyata ia datang kembali dan meraup makanan lagi. Lalu aku menangkapnya kembali dan kukatakan: ‘Akan aku laporkan engkau kepada Rasulullah. Dan ini adalah yang ketiga kalinya dan engkau telah berjanji untuk tidak kembali, ternyata engkau masih kembali. Kemudian orang itu bertutur: ‘Lepaskanlah aku, aku akan mengajarkan kepadarnu beberapa kalimat, yang dengannya Allah akan memberikan manfaat kepadamu. ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut?’ tanyaku. Maka ia menjawab: ‘Apabila engkau hendak beranjak tidur, maka bacalah ayat kursi: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) niscaya akan senantiasa ada perlindungan Allah bagimu dan engkau tidak akan didatangi syaitan hingga pagi hari tiba.’ Maka aku pun membebaskan orang itu. Dan pada saat pagi harinya, Rasulullah saw berkata kepadaku: ‘Apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kukatakan: `Ya Rasulullah, orang itu telah mengajariku beberapa kalimat, yang dengannya Allah akan mem-berikan manfaat kepadaku. Maka aku pun membiarkan ia berlalu.’ Beliau bertanya: ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ ‘Orang itu berkata kepadaku: Apabila beranjak ke tempat tidur, maka bacalah ayat kursi: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) niscaya akan senantiasa ada perlindungan Allah bagimu dan engkau tidak akan didatangi syaitan hingga pagi hari tiba’ para sahabat adalah orang-orang yang sangat loba terhadap kebaikan. Maka Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnyah berkata benar, padahal ia seorang pendusta. Tahukah engkau, hai Abu Hurairah, siapakah yang engkau ajak bicara selama tiga malam tersebut?’ ‘Tidak,’ jawabku. Beliau bersabda: ‘Ia adalah syaitan.’” Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq dengan ungkapan pasti. Hadits ini juga diriwayatkan an-Nasa’i dalam Kitab: “al yauma wa lailah.” Hadits yang lain, yang menjelaskan bahwa ayat ini mengandung nama Allah yang paling agung, diriwayatkan Imam Ahmad, dari Asma’ binti Yazid bin Sakan, ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda mengenai dua ayat ini, allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) Dan ayat, “Alif laam miim. allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Aliif laam miim. Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) (QS. Ali Imraan: 1-2): “Sesungguhnya pada kedua ayat tersebut terdapat nama Allah yang paling agung.” Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah. Imam Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.” Ayat ini mencakup 10 (sepuluh) kalimat yang berdiri sendiri, yaitu firman Allah Ta’ala: AllaaHu laa ilaaHa illaa Huwa (“Allah, tidak ada ilah [yang berhak di-ibadahi] melainkan Dia.”) Yang demikian itu memberitahukan, bahwasanya Allah-lah yang Tunggal dalam uluhiyah-Nya (ketuhanan-Nya) bagi seluruh makhluk-Nya.” Al hayyul qayyuum (“Yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.”) Artinya, yang hidup kekal, dan tidak akan pernah mati selamanya, yang mengendalikan semua yang ada. Dengan demikian, semua yang ada di dunia ini sangat membutuhkan-Nya, sedang Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka, tidak akan tegak semuanya itu tanpa adanya perintah-Nya. seperti firman-Nya berikut ini: wa min aayaatiHii an taquumas samaa-u wal ardlu bi amri (“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya.”) (QS. Ar-Ruum: 25). Dan firman-Nya: laa ta’khudzuHu sinatuw walaa naum (“Tidak mengantuk dan tidak pula tidur”) Artinya, la suci dari cacat (kekurangan), kelengahan dan kelalaian tidur dalam mengurusi makhluk-Nya. Bahkan sebaliknya, Dia senantiasa mengurus dan memperhatikan apa yang dikerjakan setiap individu. Dan Dia senantiasa menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dan di antara kesempurnaan sifat-Nya adalah Dia tidak pernah dikalahkan (dikuasai) kantuk dan tidur. Firman-Nya: laa ta’khudzuHu; berarti Dia tidak dikalahkan (dikuasai) oleh kantuk. Oleh karena itu Dia juga berkata: “Dan tidak juga tidur.” Karena tidur itu lebih kuat dari mengantuk. Dan firman-Nya: laHuu maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.”) Hal itu merupakan pemberitahuan bahwaa makhluk ini adalah hamba-Nya, dan berada di dalam kerajaan-Nya, pemaksaan-Nya, dan juga kekuasaan-Nya. Firman-Nya: man dzal ladzii yasy-fa’u ‘indaHuu illaa bi-idzniHi (“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”) Ini merupakan bagian dari keagungan, keperkasaan, dan kebesaran Allah swt, yang mana tidak seorang pun dapat memberikan syafa’at kepada orang lain, kecuali dengan seizin-Nya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits tentang syafaat: “Aku datang ke bawah ‘Arsy, lalu aku tunduk bersujud. Maka Dia membiarkanku selama waktu yang Dia kehendaki. Kemudian dikatakan: ‘Angkatlah kepalamu, katakanlah perkataanmu akan didengar, dan berilah syafaat, dan engkau akan mendapat syafaat.’ Nabi bersabda: ‘Kemudian Allah memberikan suatu batasan kepadaku, lalu aku memasukkan mereka ke dalam surga.’” (HR Al-Bukhari dan lain-lainnya).

     Dan firman Allah Ta’ala: ya’lamu maa baina aidiiHim wa maa khalfaHum (“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”) Yang demikian itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala yang ada, baik yang lalu, kini, dan yang akan datang. Selanjutnya penggalan ayat: walaa yuhiithuuna bibisyai-im min ‘ilmiHii illaa bimaa syaa’a (“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”) Artinya, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui sedikit pun dari ilmu Allah kecuali yang telah diajarkan dan diberitahukan oleh Allah kepada-Nya. Mungkin juga makna penggalan ayat tersebut adalah, manusia tidak akan dapat mengetahui ilmu Allah sedikit pun, dzat dan sifatnya melainkan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Hal itu seperti firman-Nya yang artinya: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thaahaa: 110). Dan firman-Nya lebih lanjut: wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) ia mengatakan, “Yaitu ilmu-Nya.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Abdullah bin Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutharif bin Tharif. Ibnu Abi Hatim, menceritakan, hal yang sama juga diriwayatkan, dari Said bin Jubair. Dalam tafsirnya, Wak’i telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Kursi adalah tempat pijakan dua kaki (Allah) dan ‘Arsy tidak ada seorang pun yang mampu memperkirakannya. Hal itu juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, ia mengatakan: “(Riwayat tersebut) shahih menurut syarat dari Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak meriwayatkannya. Dan firman-Nya, “Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. “Maksudnya, Dia tidak merasa keberatan dan kewalahan untuk memelihara langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya. Bahkan bagi-Nya semuanya itu merupakan suatu hal yang sangat mudah dan ringan. Dia yang mengawasi setiap individu atas apa yang ia kerjakan. Yang senantiasa memantau segala sesuatu, sehingga tidak ada sesuatu pun yang luput dan tersembunyi dari-Nya. Dia yang menundukkan dan menghisab (memperhitungkan) segala sesuatu. Dialah Ilah Yang Mahamengawasi, Mahatinggi, dan tidak ada Ilah selain Dia. Dengan demikian firman-Nya: wa Huwal ‘aliyyul ‘adhiim (“Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar,”) adalah sama seperti firman-Nya: wa Huwal kabiirul muta’aal (“Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.”) (QS. Ar-Ra’ad: 9). Jalan terbaik dalam memahami ayat-ayat di atas berikut maknanya yang terkandung dalam beberapa hadits shahih adalah dengan metode yang digunakan para ulama Salafush Shaleh; Mereka memahami makna ayat-ayat tersebut (sebagaimana arti bahasa yang digunakan dalam ayat-ayat atau hadits-hadits itu,-Pent.) tanpa takyif (menanyakan kaifiatnya/hakekatnya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk). Dalam naskah al-Azhar: Arti memahami di sini ialah tanpa mena’wilkannya dengan pandangan-pandangan manusia tetapi kita hanya beriman kepada ayat-ayat itu dengan menyucikan Allah terhadap keserupaan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. di November 25, 2017

AYAT 254

TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK'
SURAH BAQARAH 254'
BIS-MIL-LAHI-RAHMAN-NIR-RAHIM''
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلا خُلَّةٌ وَلا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ (254) }
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rizki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada Iagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Baqarah: 254)

 Allah telah memerintahkan hamba hamba-Nya supaya menginfakkan sebagian dari apa yang telah Dia karuniakan kepada mereka di jalan-Nya, yaitu jalan kebaikan. Agar pahala infak tersebut tersimpan di sisi Allah Ta’ala dan supaya mereka segera mengerjakannya dalam kehidupan dunia ini. Mubtada dalam ayat ini dibatasi oleh khabar-nya, yakni orang-orang yang benar-benar zalim di antara mereka yang datang menghadap kepada Allah adalah orang yang kafir. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ata ibnu Dinar, bahwa ia pernah berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah berfirman: 'Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim' (Al-Baqarah: 254)

 Dan tidak mengatakan dalam firman-Nya, 'Orang-orang zalim itulah orang-orang yang kafir'." Para Ulama berbeda pendapat tentang infak yang dieprintahkan dalam ayat ini; apakah ia infak wajib yaitu zakat ataukah ia infak seecara umum mencakup yang wajib dan yang sunnah? Al-Hasan al-Bahsri rahimahullah berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah khsusus untuk zakat saja (infak wajib), bukan infak sunnah namun Ulama yang lain (Jumhur) berpendapat infak dalam ayat ini adalah umum mencakup infak yang wajib yaitu zakat dan juga infak yang sunnah seperti sedekah dan lain-lain.

 Pelajaran dari ayat yang mulia di atas:  Di antara pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah sebagai berikut: 1. Keutamaan berinfak dari rizki yang telah Allah karuniakan kepada kita. 2. Bahwasanya infak adalah salah satu konsekwensi dari keimanan, dan kikir (belit/bakhil) adalah kekurangan dalam iman. Oleh sebab itu seorang mukmin bukanlah orang yang pelit, namun orang mukmin adalah orang yang dermawan dengan ilmunya, dermawan dengan kedudukan/kehormatannya, dermawan dengan hartanya dan dermawan dengan fisiknya. 3. Peringatan bahwa seseorang tidak memperoleh rizki semata-mata dengan usahanya sendiri, usaha hanyalah sebab namun yang menjadikan sebab itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana firman-Nya: مِمَّا رَزَقْنَاكُم (sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu). Maka tidak sepantasnya seseorang merasa ujub (takjub terhadap diri sendiri) sehingga menganggap rizki yang diperolehnya adalah semata-mata hasil usahanya, dan hasil kerjanya sebagaimana perkataan seseorang:”Sesungguhnya aku diberikan ini karena ilmu yang aku miliki.”

JILIK KE 2 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK AKAN BERPINDAH PADA EKAUN G.MAIL YANG BAHARU,.,.INSYAALLAH PADA TAHUN 2019,.,.,AMIIIN

JILIK KE 2 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK AKAN BERPINDAH PADA EKAUN G.MAIL YANG BAHARU,.,.INSYAALLAH PADA TAHUN 2019,.,.,AMIIIN