TAFSIR SURAT AL-BAQARAH:253*
TAFSIR QURAN DAN HADIS TABBARAK
17.08.18 jumaat 8pagi *
-تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ 253.
TILKAR – RUSULU faddalnaa ba' – dahm – alaa ba' – d. Minhum man – kalla – mallaahu wa rafa – ‘a ba' – dahum darajaat. Wa ‘aataynaa ‘Iisabna – Maryamal – Bayyinaati wa ‘ayyadnaa – hu bi – ruuhil – qudus. Wa law shaa – ‘allaahu maqtata – lallaziina mim – ba' di maa jaaa – ‘at – humul – Bayyi – naatu wa laa – kinikh – talafuu fa – minhum man ‘aamana wa min – hum – man – kafar. Wa law shaaa – ‘allaahu maq – tataluu; wa laa – kinnal – laaha yaf – ‘alu maa yuriid. “
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Diantara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 253)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah SAW, bersabda, "Setiap nabi telah diberi mukjizat yang dengan sebagian darinya manusia menjadi beriman, sedangkan mukjizat yang diberikan kepadaku adalah wahyu (Al-Quran) yang diturunkan kepadaku, dan aku berharap akulah nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat nanti." (HR. Muslim) Pengertian Mukjizat Secara bahasa, mukjizat berasal dari kata ( أَعْجَزَ ) yang berarti melemahkan, dari kata dasar ( عَجَزَ ) yang artinya lemah. Adapun secara istilah, mukjizat dimaknakan sebagai suatu peristiwa atau kejadian menakjubkan yang terjadi di luar kebiasaan. Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kejadian tersebut melalui tangan para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti kebenaran dakwah mereka. Kejadian itu tidak mungkin dikalahkan. Selain itu, mukjizat selalu diiringi dengan pengakuan kenabian. Diistilahkan dengan mukjizat karena apa yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala itu membuat manusia lemah untuk mendatangkan yang semisal, apalagi mengalahkannya. Allah memberitahukan bahwa Dia telah melebihkan sebagian rasul atas sebagian yang lain. Sebagaimana firman-Nya: wa laqad fadl-dlalnaa ba’dlan nabiyyiina ‘alaa ba’dliw wa aatainaa daawuuda zabuuran (“Dan sesungguhnya Kami telah melebihkan sebagian nabi itu atas sebagian yang lain. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.”) (QS. Al-Israa’: 55)
Sedankan dalam surat al-Baqarah ini, AllahTa’ala berfirman: tilkar rusulu fadl-dlalnaa ba’dlaHum ‘alaa ba’dlim minHum man kalamallaaHu (“Rasul rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata [langsung dengannya].”) Yaitu Nabi Musa as. dan Nabi Muhammad. Demikian juga Adam as. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, dari Abu Dzar. Wa rafa’a ba’dlaHum darajaat (“Dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.”) Sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits tentang Isra’, yaitu ketika Nabi melihat para nabi di langit sesuai dengan kedudukan mereka disisi Allah. Jika ditanyakan, apa fungsi penyatuan antara ayat ini dengan hadits yang ditegaskan dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia menceritakan: “Seorang muslim saling mencaci-maki dengan seorang Yahudi, lalu dalam sumpah yang diucapkannya si Yahudi tersebut mengatakan: “Tidak, demi Dzat yang telah memilih Musa atas semesta alam.” Kemudian orang muslim itu mengangkat tangan seraya menampar si Yahudi tersebut dan mengatakan: “Betapa buruk-nya kau, apakah Musa juga mengungguli Muhammad?” Kemudian si Yahudi itu datang kepada Nabi, maka Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian mengunggulkan aku atas nabi-nabi yang lain. Sesungguhnya manusia akan tidak sadarkan diri (pingsan) pada hari kiamat kelak. Dan aku adalah orang yang pertama kali sadarkan diri. Lalu aku melihat Musa, ia berdiri tegar di dekat pilar ‘Arsy. Aku tidak tahu, apakah ia sadarkan diri sebelumku ataukah ia tidak merasakannya karena ia pernah pingsan di bukit Thursina. Maka janganlah kalian mengunggulkan aku atas nabi-nabi lainnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan riwayat yang lain disebutkan: “Jangan kalian mengunggulkan di antara para Nabi.” Menjawab pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa apa yang disabdakan Rasulullah itu termasuk dalam bab kelembutan tawadhu’ (merendahkan diri). Hak mengunggulkan itu bukanlah hak kalian, melainkan hak Allah Kewajiban kalian hanyalah tunduk patuh, berserah diri, dan beriman kepadanya. Firman-Nya: wa aatainaa ‘iisabna maryamal bayyinaati (“Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat.”) Yaitu berbagai macam hujjah dan dalil-dalil pasti yang menunjukkan kebenaran apa yang dibawanya kepada Bani Israil, bahwa ia adalah hamba Allah sekaligus rasul-Nya Jalla wa alaa yang diutus ke-pada mereka. Wa ayyadnaaHu biruuhil qudus (“Serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus.”) Yakni bahwa Allah telah memperkuat Isa dengan malaikat Jibril. Kemudian Allah berfirman yang artinya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan. Akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.” Artinya semuanya itu sudah merupakan ketetapan dan takdir Allah Taala. Oleh karena itu, Dia berfirman: wa laakinnallaaHa yaf’alu maa yuriid (“Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”) Karya-Karya Ulama tentang Mukjizat Meyakini mukjizat nabi dan rasul termasuk bagian iman kepada Allah Subhanahu wata’alal dan iman kepada rasul-rasul-Nya. Mengingat pentingnya masalah ini, ulama Ahlus Sunnah mencurahkan perhatian yang sangat besar untuk menyebarkan berita-berita mukjizat kepada umat. Muncullah karya-karya yang memuat berita-berita tersebut, seperti kitab-kitab sirah, kitab-kitab Syamail, demikian pula kitab-kitab hadits yang banyak menukilkan riwayat-riwayat mengenai mukjizat.
Dalam Shahih Muslim misalnya, al-Imam Muslim Subhanahu wata’ala membuat sebuah pembahasan khusus berjudul Kitab Fadhail, yang memuat beberapa pembahasan mukjizat dan keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, secara khusus telah dikumpulkan riwayat-riwayat tentang mukjizat rasul dalam karya-karya ilmiah. Di antara tulisan ulama baik yang terbit atau masih dalam bentuk manuskrip adalah: • Ayatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali bin Muhammad al-Madaini (210 H) • Amarat an-Nubuwwah, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajani (259 H) • Dalail an-Nubuwah, Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Razi Abu Zur’ah (264 H) • A’lamun Nubuwwah, al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy-’ats (275 H) • A’lamur Rasul al-Munazzalah ‘ala Rusulihi, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (276 H) • Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin al-Haitsam al-Baladi (277 H) • Dalail an-Nubuwah, Abdullah bin Muhammad bin Abid Dunya (281 H) • Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin Ishaq al-Harby (285 H) • Dalail an-Nubuwah, Ja’far bin Muhammad bin al-Hasan al-Firyabi (301 H) • Dalail an-Nubuwah, Tsabit bin Hazm as-Sarqasthi (313 H) • Dalail an-Nubuwah, Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan an-Naqqasy, al-Muqri (351 H) • Dalail an-Nubuwah, Abu asy- Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Hayyan al-Ashbahani (369 H) • Dalail an-Nubuwah, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani (430 H) • Dalail an-Nubuwah, Sulaiman bin Ahmad ath-Thabarani (430 H) • al-Arba’una Haditsan ad-Dalah ‘ala Nubuwatihi ‘Alahissalam, Ali bin al-Hasan bin Hibatullah, Ibnu ‘Asakir (571 H) • Dalail an-Nubuwah, al-Hafizh Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi. Masih banyak karya ulama lainnya tentang masalah ini. Wallahu a’lam. di November 25, 2017
Tiada ulasan:
Catat Ulasan