Sabtu, 14 Julai 2018

AYAT 232-235

TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK'
SURAH BAQARAH 232-235
BIS-MIL-LAHI-RAHMAN-NIR-RAHIM''
         232.Wa ‘izaa tallaqtumun – nisaaa ‘a fabalaghna ‘ajalahunna falaa ta' duluuhunna ‘any – yan – kihna ‘azwaa jahunna ‘izaa taraadaw baynahum bil – ma –ruuf. Zaalika yuu – ‘azu bihii man – kana minkum yu' – minu billaahi wal – Yawmil – ‘Aakhir. Zaalikum ‘azkaa lakum wa ‘athar. Wallaahu ya' –lamu wa ‘antum laa ta' – lamuun. 233.Wal – waalidaatu yurdi' – na ‘awlaada hunna haw – layni kaa – milayni liman ‘araada ‘any – utimmarradaa – ‘ah. Wa ‘alal – mawluudi lahuu rizquhunna wa kiswatuhunna bil – ma' ruuf. Laa tukallafu nafsun ‘illaa wus ‘ahaa. Laa tudaaarra waa – li – datum bi waladihaa waa laa maw – luudul – laahu bi waladihii wa ‘alal – waarisi mislu zaalik. Fa – ‘in ‘araada fisaalan ‘an taraadim – min – humaa wa tashaa – wurin – falaa junaaha ‘alayhi – maa. Wa ‘in ‘arattum ‘an – tas –tar – di – ‘uuu ‘awlaadakum falaa junaaha ‘alaykum ‘izaa sallam – tum – maaa ‘aataytum – bil – ma' ruuf. Wattaqullaaha wa' – lamuuu ‘annallaaha bimaa ta' – maluuna Basiir. 234.Wallaziina yutawaffawna minkum wa yazaruuna ‘azwaa – jany – yatarab – basna bi – ‘anfusi – hinna ‘arba – ‘ata ‘ash – hurinw wa ‘ashraa. Fa – ‘izaa balaghna ‘ajalahunna falaa junaaha ‘alay – kum fiima fa – ‘alna fiii ‘anfusi – hinna bil – ma' – ruuf. Wallaahu bimaa ta' – maluuna Khabiir. 235.Wa laa junaaha ‘alaykum fiimaa ‘arradtum bihii min khit – batin – nisaa – ‘i ‘aw ‘aknantum fii ‘anfusikum. ‘Ali – mal – laahu ‘annakum satazkuruuna – hunna wa laakillaa tuwaa – ‘iduu hunna sirran ‘il – laaaa ‘an – taquuluu qawlam – ma' – rufaa. Wa laa ta' zimuu ‘uqdatan Nikaahi hat – taa Yablughal Kitaabu ‘ajalah. Wa' la muuu ‘annal lahaa ya' lamu maa fiii ‘anfusikum fah – zaruuh: wa' lamuuu ‘annallaaha Ghafuurun Haliim.

          “Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddabnya. Dan ketabuilah bahwasanya Allah mengetabui apa yang ada dalam batimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketabuilah bahwa Allah Maha-pengampun lagi Mahapenyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)

         diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari dua tahun.” Kemudian ad-Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafizh.” Berkenaan dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.” Makna yang terkandung dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS. Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15). Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn bulan.” Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik. Wallahu aalam Dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu! Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini merupakan perintah Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu hendaklah mereka menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan menurut ketetapan ijma’, ketentuan itu berlaku bagi isteri yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri. Yang menjadi sandaran berlakunya ketentuan ini bagi wanita yang belum dicampuri adalah pengertian umum dari ayat dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis buku as-Sunan, dan yang dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi: Bahwasanya Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu ia meninggal sebelum sempat bercampur dengannya dan belum menyerahkan kepadanya mahar yang menjadi kewajibannya. Kemudian orang-orang berulang kali datang untuk mempertanyakan hal itu kepadanya.

      Maka Ibnu Masud berkata: “Aku akan jawab berdasarkan pendapatku sendiri, jika benar maka demikian berasal dari Allah, dan jika salah maka hal itu berasal dari diriku sendiri dan syaitan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan tersebut. Yaitu, wanita itu berhak menerima mahar secara penuh.” Sedangkan dalam lafazh yang lain juga di-katakan: “Baginya mahar seperti yang diberikan kepada wanita semisalnya. Tidak boleh kurang atau lebih, serta berlaku pula baginya iddah dan menerima waris.” Kemudian Ma’qil bin Yasar al-Asyja’i berdiri seraya berujar: “Aku pernah mendengar Rasulullah memutuskan masalah Buru’ binti Wasyiq dengan ketentuan tersebut.” Mendengar hal itu, Abdullah bin Mas’ud pun gembira sekali. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, maka orang-orang dari kabilah Asyja’ berdiri seraya berucap, “Kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan demikian dalam kasus Buru’ bin Wasyiq.” Tidak dikecualikan dari ketentuan tersebut selain isteri yang ditinggal mati suaminya ketika ia sedang hamil. Maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala: “Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddahnya mereka itu adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq: 4). Dalam riwayat yang lain disebutkan, maka ia pun melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal. Setelah nifasnya mengering ia pun berdandan untuk menyambut pelamar. Maka datanglah Abu Sanabil bin Ba’kak menemuinya dan berkata kepadanya, “Aku melihat engkau berdandan ap amungkin engkau berkeinginan untuk menikah? Demi Allah, engkau tidak boleh menikah sebelum empat bulan sepuluh hari berlalu.” Subai’ah berkata: “Setelah Abu Sanabil mengatakan hal itu kepadaku, maka sore harinya aku langsung mengemasi pakaianku dan kemudian pergi menemui Rasulullah dan kutanyakan hal itu kepada beliau, maka beliau memberikan fatwa kepada-ku bahwa aku boleh menikah sejak aku melahirkan. Dan beliau menyuruhku menikah, jika aku mau.” Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan, telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas telah (meralat pendapatnya dan) kembali kepada hadits Subai’ah, ketika ia disanggah dengan hadits ini. Yang membuktikan kebenaran hal ini ialah bahwa para sahabat pun memberikan fatwa dengan hadits Subai’ah, sebagaimana yangmenjadi pendapat para ulama. Dalam hal ini dikecualikan bagi isteri yang berasal dari budak, di mana iddah budak wanita itu setengah dari iddahnya wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari. Demikian menurut pendapat jumhur ulama, karena ia mendapat ketentuan setengah dari wanita merdeka dalam perkara yang menyangkut had (hukum pidana), maka dalam iddah pun ia mendapatkan ketentuan setengah pula. Pertama, pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa si wanita itu tidak haram baginya, namun ia (si laki-laki) harus melamarnya kembali bila iddahnya selesai. Kedua, pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa wanita tersebut haram baginya untuk selamanya. Pendapat tersebut berdasarkan padawayat dari Ibnu Syihab, Sulaiman bin Yasar, bahwa Umar bin Khaththab pernah mengatakan: “Wanita mana saja yang menikah pada masa iddah, jika laki-laki yang menikahinya itu belum mencampurinya, maka keduanya harus dipisahkan, lalu wanita tersebut menyelesaikan sisa iddahnya dari suaminya yang pertama dan laki-laki itu boleh melamarnya kembali. Namun jika laki-laki itu sudah mencampurinya, maka keduanya harus dipisahkan, lalu si wanita itu harus menyelesaikan sisa iddahnya dari suami yang pertama, dan setelahitu menjalani iddah yang lain, dan laki-laki bekas suami yang baru itu tidak boleh lagi menikahinya untuk selamalamanya.”

      Para ulama mengatakan: “Pengambilan pendapat ini adalah bahwa setelah suami mempercepat apa yang telah ditentukan Allah swt, is diberi hukuman berupa kebalikan dari tujuannya, sehingga wanita itu menjadi haram baginya untuk selamanya. Seperti halnya pembunuh diharamkan dari harta warisan. Dan telah diriwayatkan Imam Syafi’i atsar ini dari Imam Malik. Imam Baihaqi mengemukakan, “la berpendapat demikian pada qaul qadim, tetapi ia meninggalkannya dalam qaul jadid.” Yang demikian itu didasarkan pada ungkapan Ali bahwa wanita itu dihalalkan baginya. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis (Ibnu Katsir) katakan, pendapat ini merupakan atsar terputus dari Umar bin Khaththab. Dan firman-Nya: wa’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fii anfusikum fahdzaruuHu (“Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu. Maka takutlah kepada-Nya.”) Allah swt. mengancam mereka atas apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka mengenai masalah wanita, serta Allah Ta’ala membimbing mereka supaya meniatkan kebaikan dan bukan keburukan. Dan Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berputus asa untuk memperoleh rahmat-Nya, maka Dia berfirman: wa’lamuu annallaaHa ghafuurun haliim (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun.”)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

JILIK KE 2 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK AKAN BERPINDAH PADA EKAUN G.MAIL YANG BAHARU,.,.INSYAALLAH PADA TAHUN 2019,.,.,AMIIIN

JILIK KE 2 TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK AKAN BERPINDAH PADA EKAUN G.MAIL YANG BAHARU,.,.INSYAALLAH PADA TAHUN 2019,.,.,AMIIIN