TAFSIR QURAN DAN HADIS TABARUK
JILIK-5-SURAH YASIN AYAT 37-40
Bismillahirahmanirahim'
37 wa aayatul lahumullaylu naslakhu minhunnahaara faidhaa hum muZlimuuna
38 wash shamsu tajriy limustaqarril lahaa dhaalika taqdiyrul 'Aziyzil 'Aliym
39 wal qamara qaddarnaahu manaazila Hattaa 'AAdakal 'Urjuunil qadiymi
40 Lash shamsu yambagiy lahaaa an tudrikal qamara wa Lal laylu saabiqunnahaar wa kullun fiy falakiy yasbaHuuna
Pengaturan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Alam Semesta
(Tafsir ayat 37-40)
وَآيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ (٣٧) وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (٣٨) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (٣٩) لا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, (QS. 36:37) dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui. (QS. 36:38) Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (QS. 36:39) Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. 36:40)
Allah Ta’ala berfirman bahwa di antara petunjuk bagi mereka tentang kekuasaan Allah Tabaaraka wa Ta’ala Yang agung adalah penciptaan malam dan siang. Malam dengan kegelapannya dan siang dengan cahaya sinarnya. Serta, Dia jadikan keduanya silih berganti, jika malam datang, siang pergi dan jika siang datang, malampun pergi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.” (QS. Al-A’raaf: 54).
Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman di sini, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu,” yaitu Kami tanggalkan, lalu dia pergi dan datanglah malam. Untuk itu Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman: “Maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.” Sebagaimana tercantum di dalam satu hadits:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika malam datang dari arah sana, maka siang mundur ke arah lain. Dan matahari terbenam, maka pertanda bagi orang yang berpuasa untuk berbuka.” Inilah makna yang zhahir dalam ayat tersebut.
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakannya pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (QS. 15 : 19-20)
Dan firman Allah Ta’ala “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.” Pada makna firman-Nya, “Di tempat peredarannya,” terdapat dua pendapat.
Pendapat Pertama,
Mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tempat peredarannya, yaitu di bawah ‘Arsy yang dekat ke arah bumi dari sisi tersebut. Dimana pun berada, matahari dan seluruh makhluk berada di bawah ‘Arsy, karena ‘Arsy merupakan atapnya dan bukan berbentuk bulat, sebagaimana yang dikira oleh para ahli hukum alam. Dia berbentuk kubah yang memiliki beberapa tiang yang dibawa oleh para Malaikat dan dia berada di atas alam seperti yang terlihat di atas kepala. Maka, matahari jika berada di dalam kubah falak di waktu siang, maka dia berada lebih dekat kepada ‘Arsy. Dan jika dia memutar pada falak ke empat menuju tempat tersebut, yaitu waktu pertengahan malam, maka dia semakin menjauh dari ‘Arsy. Di saat itu dia sujud dan meminta izin untuk terbit, sebagaimana yang tercantum di dalam beberapa hadits.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Dzarr r.a berkata: “Aku bersama Nabi Saw di dalam masjid ketika terbenamnya matahari. Lalu Rasulullah Saw bersabda: ‘Hai Abu Dzarr, apakah engkau tahu dimana matahari itu terbit?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah Saw menjawab: ‘Dia itu pergi, hingga sujud di bawah ‘Arsy. Itulah firman Allah Ta’ala, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.”
Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, dari Abu Dzarr r.a yang berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw tentang firman Allah Ta’ala, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya,’ Rasulullah Saw menjawab:
مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ
‘Tempat peredarannya di bawah ‘Arsy.”
Demikian yang dijelaskan di sini. Serta telah ditakhrij di beberapa tempat dan diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Ibnu Majah, dari beberapa jalur, dari al-A’masy.
Imam Ahmad meriwayatkan, bahwasanya Abu Dzarr r.a berkata: “Aku bersama Rasulullah Saw di dalam masjid ketika matahari tenggelam. Lalu Rasulullah Saw bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَدْرِيْ أَيْنَ تَذْهَبُ الشَّمْسُ ؟ قُلْتُ : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهَا عزّوَجل فَتَسْتَأْذِنُ فِي الرُّجُوْعِ فَيُؤْذَنُ لَهَا وَكأَنَّهَا قَدْ قِيْلَ لَهَا: ارْجِعِى مِنْ حَيْثُ جِئْتِ فَتَرْجِعُ إِلَى مَطْلِعِهَا وَذَلِكَ مُسْتَقَرُّهَا-ثُمَّ قَرَأَ-وَالشَّمْسُ تَجْرِ ي لِمُسْتَقَرِّ لَّهَا
‘Hai Abu Dzarr, apakah engkau tahu kemana perginya matahari?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah Saw bersabda; ‘Dia pergi, hingga sujud di hadapan Rabb-nya ‘azza wa jalla untuk meminta izin kembali. Lalu dia diizinkan seakan dikatakan kepadanya: ‘Kembalilah dari mana engkau datang. Lalu dia kembali ke tempat terbitnya dan itulah tempat peredarannya.’ Kemudian, beliau membaca, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.”
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat peredarannya adalah akhir perjalanannya, yakni ujung naiknya di langit di waktu musim dingin, yaitu Aujaha, kemudian ujung bawahnya di saat musim panas, yaitu al-Hadhidh.
Pendapat Kedua
Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat peredarannya adalah tempat akhir perjalanannya, yaitu pada hari Kiamat. Batallah perjalanannya, terhenti gerakannya, beredar dan berakhirlah alam ini. Dan ini adalah waktu peredaran.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca
(وَالشَّمْسُ تَجْرِ ي لِمُسْتَقَرِّ لَّهَا) yaitu tidak tetap dan tidak tenang. Bahkan dia terus berputar, siang dan malam tanpa lelah dan tidak henti-hentinya. Sebagaimana Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman,
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya).” (QS. Ibrahim: 33). Yaitu, tidak lelah dan tidak berhenti sampai hari Kiamat.
“Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa,” yakni yang tidak dibantah dan tidak dilanggar. “Lagi Mahamengetahui, “tentang seluruh gerakan dan segala sesuatu yang diam. Sesungguhnya hal itu sudah ditetapkan dan waktunya di atas satu aturan yang tidak berbeda dan tidak terbalik.
Kemudian Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,” yaitu, Kami jadikan dia berjalan dalam perjalanan lain yang dapat dijadikan tanda berlalunya bulan, sebagaimana dengan matahari yang dapat diketahui antara siang dan malam. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. (QS. Al-Baqarah: 189).
Dan Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS. Yunus: 5).
Dia menjadikan matahari memiliki cahaya yang khusus baginya dan bulan memiliki cahaya yang khusus pula baginya dan berbeda perjalanan antara keduanya. Matahari terbit setiap hari dan terbenam pada akhirnya dengan satu sinar, akan tetapi dia berpindah-pindah pada tempat terbit dan terbenam pada musim panas dan musim dingin. Dengan sebab itu, siang dapat lebih panjang dan malam dapat lebih pendek. Kemudian, malam dapat lebih panjang dan siang dapat lebih pendek serta menjadikan kekuasaannya pada siang hari dan itulah bintang siang.
Sedangkan bulan, telah ditetapkan baginya manzilah-manzilah yang terbit pada awal malam bulan dalam keadaan sabit, dengan cahaya kecil. Kemudian, sedikit demi sedikit bertambah pada malam yang kedua dan manzilahnya semakin naik. Kemudian, setiap kali manzilah itu naik meninggi, semakin bertambahlah sinarnya, sekalipun disadur dari cahaya matahari, hingga semakin sempurna sinarnya pada malam ke empatbelas. Kemudian, dia mulai berkurang kembali sampai akhir bulan, hingga seperti bentuk tandan tua.
Ibnu ‘Abbas r.a berkata; “Itulah asal rasa.” Mujahid berkata; “Al-‘urjuun al-qadiim” yaitu tandan yang kering (tua), Ibnu ‘Abbas r.a mengartikannya sebagai pokok tandan kurma yang telah lama, kering dan melengkang.” Setelah hal tersebut, Allah Ta’ala menampakkan bulan dalam bentuk baru di awal manzilah akhir.
Dan firman-Nya Tabaaraka wa Ta’ala, “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan. “Mujahid mengatakan: “Setiap matahari dan bulan mempunyai batasan yang tidak bisa dilampaui dan tidak bisa dikurangi oleh selainnya, jika kemungkinan (mendapatkan yang lainnya) ini terjadi, maka akan timbul kemampuan untuk membatasi.” Ats-Tsauri mengatakan dari Abi Shalih; “Tidaklah cahaya matahari mendapatkan bulan dan tidak pula cahaya bulan mendapatkan matahari.”
Firman-Nya Ta’ala, “Dan malam pun tidak dapat mendahului siang.” Allah berfirman, tidak sepatutnya jika malam telah terjadi, malam selanjutnya akan terjadi hingga malam sebelumnya menjadi siang. Maka, terbitnya matahari dengan adanya siang dan terbitnya bulan dengan adanya malam.
Adh-Dhahhak berkata: “Malam tidak akan berlalu hingga siang datang dari arah tersebut.” Dan ia memberikan isyarat pada arah timur. Mujahid mengatakan: “Dan malam pun tidak dapat mendahului siang,” dua hal yang dituntut cepat, yang mana salah satunya akan mendahului yang lain. Dan makna tafsiran tersebut yaitu, tidak ada selang waktu antara malam dan siang, akan tetapi setiap dari keduanya (terjadi) tanpa keterlambatan dan tidak ketinggalan (dari yang lainnya) karena keduanya bekerja tanpa pamrih lagi tekun yang dituntut dengan tuntutan yang cepat.
Dan firman-Nya Tabaaraka wa Ta’ala, “Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Yakni malam, siang, matahari dan bulan semuanya beredar, yaitu berputar pada garis edar langit. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’ al-Khurasani. Ibnu ‘Abbas r.a dan selainnya dari kaum Salaf;
JILIK-5-SURAH YASIN AYAT 37-40
Bismillahirahmanirahim'
37 wa aayatul lahumullaylu naslakhu minhunnahaara faidhaa hum muZlimuuna
38 wash shamsu tajriy limustaqarril lahaa dhaalika taqdiyrul 'Aziyzil 'Aliym
39 wal qamara qaddarnaahu manaazila Hattaa 'AAdakal 'Urjuunil qadiymi
40 Lash shamsu yambagiy lahaaa an tudrikal qamara wa Lal laylu saabiqunnahaar wa kullun fiy falakiy yasbaHuuna
Pengaturan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Alam Semesta
(Tafsir ayat 37-40)
وَآيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ (٣٧) وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (٣٨) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (٣٩) لا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, (QS. 36:37) dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui. (QS. 36:38) Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (QS. 36:39) Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. 36:40)
Allah Ta’ala berfirman bahwa di antara petunjuk bagi mereka tentang kekuasaan Allah Tabaaraka wa Ta’ala Yang agung adalah penciptaan malam dan siang. Malam dengan kegelapannya dan siang dengan cahaya sinarnya. Serta, Dia jadikan keduanya silih berganti, jika malam datang, siang pergi dan jika siang datang, malampun pergi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.” (QS. Al-A’raaf: 54).
Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman di sini, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu,” yaitu Kami tanggalkan, lalu dia pergi dan datanglah malam. Untuk itu Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman: “Maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.” Sebagaimana tercantum di dalam satu hadits:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika malam datang dari arah sana, maka siang mundur ke arah lain. Dan matahari terbenam, maka pertanda bagi orang yang berpuasa untuk berbuka.” Inilah makna yang zhahir dalam ayat tersebut.
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakannya pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (QS. 15 : 19-20)
Dan firman Allah Ta’ala “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.” Pada makna firman-Nya, “Di tempat peredarannya,” terdapat dua pendapat.
Pendapat Pertama,
Mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tempat peredarannya, yaitu di bawah ‘Arsy yang dekat ke arah bumi dari sisi tersebut. Dimana pun berada, matahari dan seluruh makhluk berada di bawah ‘Arsy, karena ‘Arsy merupakan atapnya dan bukan berbentuk bulat, sebagaimana yang dikira oleh para ahli hukum alam. Dia berbentuk kubah yang memiliki beberapa tiang yang dibawa oleh para Malaikat dan dia berada di atas alam seperti yang terlihat di atas kepala. Maka, matahari jika berada di dalam kubah falak di waktu siang, maka dia berada lebih dekat kepada ‘Arsy. Dan jika dia memutar pada falak ke empat menuju tempat tersebut, yaitu waktu pertengahan malam, maka dia semakin menjauh dari ‘Arsy. Di saat itu dia sujud dan meminta izin untuk terbit, sebagaimana yang tercantum di dalam beberapa hadits.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Dzarr r.a berkata: “Aku bersama Nabi Saw di dalam masjid ketika terbenamnya matahari. Lalu Rasulullah Saw bersabda: ‘Hai Abu Dzarr, apakah engkau tahu dimana matahari itu terbit?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah Saw menjawab: ‘Dia itu pergi, hingga sujud di bawah ‘Arsy. Itulah firman Allah Ta’ala, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.”
Telah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, dari Abu Dzarr r.a yang berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw tentang firman Allah Ta’ala, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya,’ Rasulullah Saw menjawab:
مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ
‘Tempat peredarannya di bawah ‘Arsy.”
Demikian yang dijelaskan di sini. Serta telah ditakhrij di beberapa tempat dan diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Ibnu Majah, dari beberapa jalur, dari al-A’masy.
Imam Ahmad meriwayatkan, bahwasanya Abu Dzarr r.a berkata: “Aku bersama Rasulullah Saw di dalam masjid ketika matahari tenggelam. Lalu Rasulullah Saw bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ أَتَدْرِيْ أَيْنَ تَذْهَبُ الشَّمْسُ ؟ قُلْتُ : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ بَيْنَ يَدَيْ رَبِّهَا عزّوَجل فَتَسْتَأْذِنُ فِي الرُّجُوْعِ فَيُؤْذَنُ لَهَا وَكأَنَّهَا قَدْ قِيْلَ لَهَا: ارْجِعِى مِنْ حَيْثُ جِئْتِ فَتَرْجِعُ إِلَى مَطْلِعِهَا وَذَلِكَ مُسْتَقَرُّهَا-ثُمَّ قَرَأَ-وَالشَّمْسُ تَجْرِ ي لِمُسْتَقَرِّ لَّهَا
‘Hai Abu Dzarr, apakah engkau tahu kemana perginya matahari?’ Aku menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah Saw bersabda; ‘Dia pergi, hingga sujud di hadapan Rabb-nya ‘azza wa jalla untuk meminta izin kembali. Lalu dia diizinkan seakan dikatakan kepadanya: ‘Kembalilah dari mana engkau datang. Lalu dia kembali ke tempat terbitnya dan itulah tempat peredarannya.’ Kemudian, beliau membaca, ‘Dan matahari berjalan di tempat peredarannya.”
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat peredarannya adalah akhir perjalanannya, yakni ujung naiknya di langit di waktu musim dingin, yaitu Aujaha, kemudian ujung bawahnya di saat musim panas, yaitu al-Hadhidh.
Pendapat Kedua
Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tempat peredarannya adalah tempat akhir perjalanannya, yaitu pada hari Kiamat. Batallah perjalanannya, terhenti gerakannya, beredar dan berakhirlah alam ini. Dan ini adalah waktu peredaran.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca
(وَالشَّمْسُ تَجْرِ ي لِمُسْتَقَرِّ لَّهَا) yaitu tidak tetap dan tidak tenang. Bahkan dia terus berputar, siang dan malam tanpa lelah dan tidak henti-hentinya. Sebagaimana Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman,
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya).” (QS. Ibrahim: 33). Yaitu, tidak lelah dan tidak berhenti sampai hari Kiamat.
“Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa,” yakni yang tidak dibantah dan tidak dilanggar. “Lagi Mahamengetahui, “tentang seluruh gerakan dan segala sesuatu yang diam. Sesungguhnya hal itu sudah ditetapkan dan waktunya di atas satu aturan yang tidak berbeda dan tidak terbalik.
Kemudian Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,” yaitu, Kami jadikan dia berjalan dalam perjalanan lain yang dapat dijadikan tanda berlalunya bulan, sebagaimana dengan matahari yang dapat diketahui antara siang dan malam. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. (QS. Al-Baqarah: 189).
Dan Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS. Yunus: 5).
Dia menjadikan matahari memiliki cahaya yang khusus baginya dan bulan memiliki cahaya yang khusus pula baginya dan berbeda perjalanan antara keduanya. Matahari terbit setiap hari dan terbenam pada akhirnya dengan satu sinar, akan tetapi dia berpindah-pindah pada tempat terbit dan terbenam pada musim panas dan musim dingin. Dengan sebab itu, siang dapat lebih panjang dan malam dapat lebih pendek. Kemudian, malam dapat lebih panjang dan siang dapat lebih pendek serta menjadikan kekuasaannya pada siang hari dan itulah bintang siang.
Sedangkan bulan, telah ditetapkan baginya manzilah-manzilah yang terbit pada awal malam bulan dalam keadaan sabit, dengan cahaya kecil. Kemudian, sedikit demi sedikit bertambah pada malam yang kedua dan manzilahnya semakin naik. Kemudian, setiap kali manzilah itu naik meninggi, semakin bertambahlah sinarnya, sekalipun disadur dari cahaya matahari, hingga semakin sempurna sinarnya pada malam ke empatbelas. Kemudian, dia mulai berkurang kembali sampai akhir bulan, hingga seperti bentuk tandan tua.
Ibnu ‘Abbas r.a berkata; “Itulah asal rasa.” Mujahid berkata; “Al-‘urjuun al-qadiim” yaitu tandan yang kering (tua), Ibnu ‘Abbas r.a mengartikannya sebagai pokok tandan kurma yang telah lama, kering dan melengkang.” Setelah hal tersebut, Allah Ta’ala menampakkan bulan dalam bentuk baru di awal manzilah akhir.
Dan firman-Nya Tabaaraka wa Ta’ala, “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan. “Mujahid mengatakan: “Setiap matahari dan bulan mempunyai batasan yang tidak bisa dilampaui dan tidak bisa dikurangi oleh selainnya, jika kemungkinan (mendapatkan yang lainnya) ini terjadi, maka akan timbul kemampuan untuk membatasi.” Ats-Tsauri mengatakan dari Abi Shalih; “Tidaklah cahaya matahari mendapatkan bulan dan tidak pula cahaya bulan mendapatkan matahari.”
Firman-Nya Ta’ala, “Dan malam pun tidak dapat mendahului siang.” Allah berfirman, tidak sepatutnya jika malam telah terjadi, malam selanjutnya akan terjadi hingga malam sebelumnya menjadi siang. Maka, terbitnya matahari dengan adanya siang dan terbitnya bulan dengan adanya malam.
Adh-Dhahhak berkata: “Malam tidak akan berlalu hingga siang datang dari arah tersebut.” Dan ia memberikan isyarat pada arah timur. Mujahid mengatakan: “Dan malam pun tidak dapat mendahului siang,” dua hal yang dituntut cepat, yang mana salah satunya akan mendahului yang lain. Dan makna tafsiran tersebut yaitu, tidak ada selang waktu antara malam dan siang, akan tetapi setiap dari keduanya (terjadi) tanpa keterlambatan dan tidak ketinggalan (dari yang lainnya) karena keduanya bekerja tanpa pamrih lagi tekun yang dituntut dengan tuntutan yang cepat.
Dan firman-Nya Tabaaraka wa Ta’ala, “Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Yakni malam, siang, matahari dan bulan semuanya beredar, yaitu berputar pada garis edar langit. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’ al-Khurasani. Ibnu ‘Abbas r.a dan selainnya dari kaum Salaf;
- lebih dari satu orang berkata: “Garis edarnya seperti putaran alat pemintal benang.” Mujahid berkata: “Garis edarnya bagaikan besi putar atau bagaikan putaran alat pemintal benang, yang mana alat pemintal tidak akan berputar kecuali dengan putaran tersebut dan putaran tersebut tidak akan berputar kecuali dengan alat pemintal tersebut. Pelajaran-pelajaran dari ayat 37 – 40, antara lain: Penjelasan tentang penciptaan malam, dimana Allah Ta’ala menanggalkan siang dari malam sebagimana kulit ditanggalkan dari seekor kambing. Itu menunjukkan bahwa siang datang sedikit demi sedikit. Sesungguhnya yang pertama diciptakan adalah kegelapan. Allah Ta’ala berfirman, “Kami tanggalkan siang dari malam itu”. Itu menunjukkan bahwa yang asal adalah kegelapan, dan sesungguhnya siang akan datang setelahnya. Oleh karena itu dia ditanggalkan dari malam, dan demikianlah adanya. Karena sesungguhnya asal sinar dari matahari, dan matahari muncul dan mendatangi malam, maka yang asal adalah kegelapan kemudian cahaya datang setelahnya. Sesungguhnya matahari beredar, yakni berjalan, dan itulah realitanya. Zhahir al-Quran menunjukkan bahwa perjalanan matahari adalah dzati, dan yang dimaksud bukanlah bahwa dia berjalan dengan penglihatan mata; dan sesungguhnya yang beredar adalah bumi. Yang wajib adalah mengimani al-Quran sesuai zhahirnya sampai datang dalil yang jelas menjadi hujjah bagi kita di hadapan Allah Ta’ala. Apabila Allah Ta’ala berfirman, “Dan matahari berjalan”, maka wajib kita katakan bahwa matahari berjalan, dan tidak boleh kita katakan bahwa kitalah yang berjalan. Akan tetapi dialah (matahari) yang berjalan dengan ketetapan Allah Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Bahwasanya seluruh makhluk memiliki titik akhir. Segala sesuatu yang ada di dunia dari para makhluk memiliki titik akhir dan dia pasti akan sirna. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ibrahim ayat 48.Penetapan dua nama dari nama-nama Allah yang baik, yakni “al‘Aziiz
(Maha Perkasa) dan “al-‘Aliim” (Maha Mengetahui). Hal ini menetapkan bahwa Allah Maha Menguasai segala sesuatu dan Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sesungguhnya bulan adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala. Dengan adanya peredaran bulan maka manusia bisa mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Penjelasan tentang kekuasaan Allah yaitu adanya cahaya bulan, dimana cahayanya bermula dari keadaan lemah, lalu bertambah cahayanya, kemudian kembali melemah. Ini adalah kekuasaan Allah; karena jika Dia menghendaki, maka Dia akan menjadikannya selalu bercahaya atau selalu redup.
Untuk bahan renungan, bahwa penciptaan bulan, selaras dengan kondisi manusia, seperti firman-Nya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar-Ruum: 54)
Jadi kondisi manusia sama persis dengan kondisi bulan. Bulan mulai dalam keadaan lemah. Lalu bertambah kuat cahayanya sampai ketika telah sempurna kekuatan cahayanya, dia mulai berkurang cahayanya sampai redup sama sekali. Demikian juga manusia dalam kehidupannya.
Sesungguhnya matahari tidak mungkin terbit pada malam hari menurut sunnah Allah Ta’ala. Adapun menurut kekuasaan Allah Ta’ala, maka dia mungkin terbit pada malam hari; karena Allah Ta’ala berfirman, “Kun fayakun” (Jadilah, maka terjadilah ia).
Sesungguhnya malam tidak mungkin mendahului siang dan tidak akan masuk ke dalamnya, dimana akan ada dua malam sekaligus berturut-turut.
Sesungguhnya matahari, bulan, malam dan siang berada di garis edarnya, yakni pada sesuatu yang melingkar, dan sesungguhnya diapun beredar. Sesuai firman-Nya, “Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Hal ini juga sebagai bantahan terhadap pendapat orang yang berkata, “Sesungguhnya matahari tetap, dan sesungguhnya dia tidak beredar.” Apabila kita menafsirkan “as-Sabhu” (beredar) dengan “ad-Dauran” (berkeliling) dan kita menetapkannya untuk bulan, maka hendaklah kita juga menetapkannya untuk matahari.
Sesungguhnya bulan adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala. Dengan adanya peredaran bulan maka manusia bisa mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Penjelasan tentang kekuasaan Allah yaitu adanya cahaya bulan, dimana cahayanya bermula dari keadaan lemah, lalu bertambah cahayanya, kemudian kembali melemah. Ini adalah kekuasaan Allah; karena jika Dia menghendaki, maka Dia akan menjadikannya selalu bercahaya atau selalu redup.
Untuk bahan renungan, bahwa penciptaan bulan, selaras dengan kondisi manusia, seperti firman-Nya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar-Ruum: 54)
Jadi kondisi manusia sama persis dengan kondisi bulan. Bulan mulai dalam keadaan lemah. Lalu bertambah kuat cahayanya sampai ketika telah sempurna kekuatan cahayanya, dia mulai berkurang cahayanya sampai redup sama sekali. Demikian juga manusia dalam kehidupannya.
Sesungguhnya matahari tidak mungkin terbit pada malam hari menurut sunnah Allah Ta’ala. Adapun menurut kekuasaan Allah Ta’ala, maka dia mungkin terbit pada malam hari; karena Allah Ta’ala berfirman, “Kun fayakun” (Jadilah, maka terjadilah ia).
Sesungguhnya malam tidak mungkin mendahului siang dan tidak akan masuk ke dalamnya, dimana akan ada dua malam sekaligus berturut-turut.
Sesungguhnya matahari, bulan, malam dan siang berada di garis edarnya, yakni pada sesuatu yang melingkar, dan sesungguhnya diapun beredar. Sesuai firman-Nya, “Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Hal ini juga sebagai bantahan terhadap pendapat orang yang berkata, “Sesungguhnya matahari tetap, dan sesungguhnya dia tidak beredar.” Apabila kita menafsirkan “as-Sabhu” (beredar) dengan “ad-Dauran” (berkeliling) dan kita menetapkannya untuk bulan, maka hendaklah kita juga menetapkannya untuk matahari.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan